Selasa, 04 Maret 2014

Kisah Cinta Pasangan Spesial - our's latest work

Nikmati kisah spesial di iklan pendek kami bersama sutradara Billy Christian dan kameraman, Hani Pradigya.

Trailer :

http://www.youtube.com/watch?v=WT36aQ36Nqo

Youtube  Kisah Cinta Pasangan Spesial :

http://www.youtube.com/watch?v=TjHoEaYJFek

Saksikan di layar komputer terdekat anda..

Senin, 24 Februari 2014

Mengenang Awal Film 7 Misi Rahasia Sophie


13932450922143050088
On Set
rsama Stefan William (Pemeran Marko) dalam film 7 Misi Rahasia Sophie

Catatan Seorang Astrada :

"Jreeenggg !!!", menjadi asisten sutradara 1 adalah tugas yang boleh dibilang gampang-gampang susehhh... Ada yang bilang "babunya sutradara", "budaknya sutradara", "pusat segala tumpahan uneg-uneg dari seluruh divisi !! Fakmenn !! Ini asisten sutradara apa keranjang sampah ??. Ada lagi yang bilang "Penggerak Suting / Motornya Suting", jiaahhh.. mau di-ojekin kemane bang ??.. Ada lagi yang mengejek, Astrada itu Asal terang Gambar Ada.. maksudnyeeehhh...

Tapi begitulah yang seolah terjadi, meski sebenarnya itu hanya citra negatif saja. Jauh dari itu semua, ini adalah tugas mulia (Cie ilehhhh..). Apalagi saat kita mau mengerjakan sepenuh hati, demi kebaikan film tersebut, apapun yang terjadi, terus berkarya sebaik mungkin. Kalo kata orang, The Show Must Go On, istilahnya Pantang Pulang Sebelum Fee Turun !! Upss... maksud saya, sebelum film selesai.. (he3x, jadi curhat deh). Tenang, yang inimah, udah lunas tuntas...

Siang itu, telpon ane berdering.. (iya donk, masak telpon ane mengeong sambil keluarin logo smiley dan bilang.."Taraaaaaa.." ), segera ane angkat. Sutradara ane uda bilang, nantinya ada produser yang ngolling ane buat kerjaan di film terbarunya doi (Ngolling = indikasinya biasanya ngasi /nawarin kerjaan ke kru film yang ditelpon, ) . "Duss Plenggg ".. ada job nih.. tralala trililiiii... makanya hati ane berdebar debar begitu Henpon ane berdering, "Ini die nih, pucuk dicinta, ujangpun tiba.. eh.. ulam tiba..duhhh, siapa lagi tuh Ujang..kok nongol aje namanye". Begitu ane angkat, nomernya memang asing.. kata pepatah, "Tak Kenal Maka Tak Sayang", makanya gua mau kenalan ama nih pemilik nomer asing, pasti itu produser yang dibilang sutradara ane.

Segera jempol mulus ane menyentuh layar sentuh (touch screen) di HP ane, "Click", "Helooooo". "Halo.. ", sapa suara disana dengan nafas sedikit terengah rengah menghujam dunia penuh nestapa.. halahh.. dulu kecilnya, kebanyakan baca komik Si Buta Dari Goa Hantu jadi begini nih permisahhh. "Sapa nieee", sapa saya ramah meski sedikit gaya bicaranya alay-alay dan cabe cabe-an.. "Indro !! Hen.. filenya tolong di imel yah !", sambut suara disana.

File?? Ane sempet mikir bentar, perasaan seharian ini ane ngga ngerjain apapun yang ade hubungannya ama kompie.. pagi-pagi ngelatih jurus "Jemur Baju Tapak Naga" ama jurus "Ngepel Daki Kamar Kost" plus jurus "Lari Cepat Nenteng NasBung" (Nas bung = Nasi Bungkus.. tapi bedanya, ini beli sendiri, bukan sumbangan parpol tiap kampanye) . "File apaan yang mau disave yah ?", tanya ane balik. "File kontrak yang tadi lu ketik Ndro.. Kirim buruan !!", nada suaranya meninggi, nada tenor ke falsetto-an dicampur serak-serak birahi, eh basah. "Sori, ini sapa yah ?" tanya ane sambil dalam hati ngejawab, "Sejak kapan nama gua jadi Indro, dasar nih orang.. Gile lu Ndroo !!".

Mendengar saya bertanya balik, si penelepon disana terdiam sejenak.. Suasana mendadak menjadi sepi mencekam.. syadhuuu.. masing-masing membisuu.. dan... "Paaangggang BABIII !!!!  Panggang BAABIII !! Panggang Babii !!".. Damn !! Lagi suasana khidmat gini, Koh Akiong dengan baju merah membaranya, lewat depan kost-kostan ane, khas dengan serundulan bunyi motor bebeknya dan boksnya terikat di jok motor belakangnya. Berteriak-teriak menjajakan daging babi di sekeliling komplek. Astagaaaa... gua baru inget, ada titipan dari tetangga kost gua buat beli daging babi utk sate. Ane mau manggil, tiba-tiba suara di telepon itu nanya lagi, "Elu Hendro bukan ??".

"Bukan.. Anda salbung..." jawab ane sambil mencoba membuka gerendel gembok pager kost. "Apa ?? Agung ?? Agung bagian kastomer serpisss ?" balasnye. Lhaaa..nih orang kaga ngatri jugaa yah, pikir ane.. duhh, mana tuh si Ko Akiong uda mulai ngilang di belokan gang, baju merahnya ditelan putihnya tembok rumah di ujung jalan. Ane masih aja diribetin ama gembok sialan yang macet ini.. percuma ane baca buku buku tentang Houdini, ngadepin gembok satu aje kewalahan, palagi dirantai kayak doi. Kalo die, dirante, dicemplungin ke dalem bak air, bisa lepas.. nah kalo ane, dicemplungin ke bak air, bisa-bisa ane tenggelem sementara setengah air di bak sudah ane telen.

"Bukan.. salbung.. anda salah sambung.. ", ane tegesin ke doi. "Ohh, kayak acara radio aje, sori-sori.. tutttttttttttt..." telpon ditutup. Jiaaaahhh, salah sambung di Gen FM itu mah acara radio, kalo elu, kaga nyambung !! Hadehhh... mana si baju merah lolos lagi.. (Berasa ada Kasino nyanyi disebelah ane). Beginilah ke-excited-an waktu pertama kali diajak dan ditawari jadi Asisten Sutradara 1 di film leyar lebar.. Deg deg serrr.. tapi malah jadi tawa sutra..

Selamat Menikmati pilemnya di bioskop terdekat atau di dipidi dipidi orijinalnye...

Salam Perpileman Indonesiaaahhh !!!

Penulis : Y.G.S - 2014

13932452511164267073
Alisia Rininta sebagai pemeran Sophie

Behind The Scene Film 7 Misi Rahasia Sophie

Sebagai Asisten Sutradara 1, menjembatani kreatif sutradara dengan segala hal terkait persoalan teknis dan produksi. Bersama para pemain, Stefan William (Marko) dan Alisia Rininta (Sophie), di film terbaru karya sutradara Billy Christian.





Cerbug : Rara & Bara : Mahluk Kecil Dari Aurora ( Part 1)

RARA & BARA : MAHLUK KECIL DARI AURORA - (Bagian 1)

Sub Judul : "Sang Goriga"

Salah satu karya Hayao M, Totoro
(Inspired By : Hayao Miyazaki - My Neighboor Totoro)
Menuruni bukit di belakang sekolahnya, menjelajahi selokan, melewati jembatan berbatu di atasnya yang dibuat pada masa penjajahan Belanda, tepatnya penguasaan Gubernur Sir William, kaki Rara lincah menjelajahi rerumputan di atasnya. Tas sekolah berwarna ungu, diselempangkan di samping bahunya, sedang tangan kirinya, sibuk mencengkram sepatu kecil berwarna ungu yang dibelikan almarhum ibunya.

Mendekati sungai, ia berhenti sejenak, mengukur-ngukur jarak antar bebatuan. Bulan itu, kemarau panjang menyebabkan debit air sungai turun drastis. Bebatuan bermunculan seolah ingin menyanyikan lagu, "Musim Panas Saat Berjemur Di Sungai Takeo". Desa di mana Rara tinggal memiliki sejarah penjajahan yang cukup panjang, Jepang adalah negara terakhir yang menguasai tempat tersebut. Namun karena keindahan alamnya, para prajurit Jepang senang menghabiskan waktu bersantai di tepian sungai itu dan memberikan nama Takeo (Arti : "Warior Hero"), mengingat masa-masa perang dunia ke 2 tersebut.

Mereka menciptakan lagu tersebut untuk mengenang masa liburan di desa itu, sebelum akhirnya menyerah pada negara negara sekutu. Beberapa dari mereka, kembali berkunjung ke desa tersebut setelah masa Agresi Militer Belanda ke 2, umumnya untuk berlibur selama 1-2 minggu di desa itu.

Tangan kanan Rara terangkat ke atas, jari telunjuk dan jempolnya ia bentuk menjadi huruf C terbalik, sementara ketiga jari lainnya ia biarkan mengatup rapat. Ia mendekatkan jari-jari tersebut ke dekat mata kanannya yang bulat, sedang mata kiri ditutup rapat-rapat. Merenggang, merapat.. merenggang, merapat.. jarak antara telunjuk dan jempol itu berubah-ubah, seiring dengan jarak antara tangan kanan dengan mata kanannya, kadang mundur, kadang mendekat. Gerak gerik rara selayaknya pengamat yang sedang meneropong dari jauh. Seiring dengan itu, poni Rara berderai-derai ditiup angin.

Rupanya ia mengukur jarak antar 1 batu dengan batu lainnya lewat jempol dan telunjuknya. Melewati sungai dengan cara berpijak dari satu batu ke batu lain, nampak seperti sebuah permainan. Ada banyak cara untuk mencapai tepian sungai di seberangnya, namun ia harus memilih rangkaian bebatuan yang sesuai dengan jangkauan kakinya. Untuk gadis kecil seumuran rara, 10 tahun, tinggi Rara melebihi rata-rata gadis seusianya, 150 cm.

Belum lagi, Rara harus memastikan apakah batu-batu itu berlumut, tajam ataupun terjal. Ia juga mencari bagian sungai mana yang nampak dangkal alih alih sebagai pijakan saat ia terpleset. Untuk urusan seperti ini, Rara sudah terbiasa. Sejak kecil, ia senang bermain di sungai tersebut bersama ayah, ibu dan kakaknya.

Lidah kecilnya terjulur keluar, Rara asyik menandai batu-batu yang menjadi arah lompatannya. Telunjuknya menunjuk ke batu terakhir yang menjadi pijakan sebelum mencapai tepian sambil kemudian mengangkat jempolnya, seolah memberi tanda bahwa dia siap untuk menyeberang. Kepalanya mendongak ke kiri, di atas gunung yang menjadi sumber mata air sungai tersebut, ia tak melihat tanda-tanda awan gelap berkerumun. Cuaca hari itu cerah, secerah wajah mungil Rara yang diterpa pantulan cahaya matahari dari sungai.

Tetua desa memang sudah mengingatkan penduduk desa agar berhati-hati saat menyeberang sungai, GORIGA bisa muncul mendadak dan menyergap mereka. Rara selalu ingat kisah itu, Goriga adalah nama lain dari banjir bandang, menurut kepercayaan adat setempat, pada masa dewa-dewi, jauh sebelum manusia menghentikan kebiasaan nomadennya, ada seorang dewa yang melanggar perintah dari khayangan. Ia mencuri Api Abadi dari Gunung Pancawarna. Ini dikarenakan rupanya yang sangat buruk, sehingga ia ditolak saat hendak melamar Dewi Arumi. Adapun keburukan mukanya berasal saat ia masih bayi, ia terkena cakaran Barakha, hewan liar pemakan bayi para dewa dewi. Terdorong sakit hatinya, dewa ini berniat menghancurkan khayangan dengan Api Abadi.

Api Abadi adalah adik kandung dari Api Utama, Sang Cahya alias Mentari. Siapapun yang mencuri kekuatan Api Abadi, dapat membuat dirinya kebal api bahkan membakar apapun yang ia mau. Dari sanalah ia membentuk dirinya menjadi Naga Api yang membakar khayangan dan menghanguskan bumi melalui kekeringan yang luar biasa. Khayangan gempar, panik, kacau dan ketakutan. Jika Naga Api berhasil terbang menerkam Api Utama, dapat dipastikan kerusakan lebih besar bisa terjadi.
Hingga muncullah Dewi Arumi, membujuk dewa berwujud naga tersebut dengan kecantikannya.

Umpan dilepas, sang Naga Api terpikat. Ia-pun mendatangi Dewi Arumi dalam rupa dewa dan tanpa sadar, meminum air dari kolam Saptayana yang tersuguhkan saat ia datang berkunjung. Setelah tertidur dalam buaian Dewi Arumi, para Dewa-Dewa menangkapnya. Ia tak bisa berubah menjadi Naga Api, sekuat apapun ia mencoba, air Saptayana telah mengkontaminasinya dan mencegah perubahannya untuk sementara.

Segera Dewa-Dewapun membelenggu dan membawanya ke dalam kolam Saptayana. Disana, ia berubah menjadi Naga Api, namun terlambat, seluruh tubuhnya telah terserap menjadi bagian dari air di kolam Saptayana. Khawatir ia akan muncul lagi, maka Dewa-Dewa bersepakat untuk mencerai beraikan bagian tubuh dewa tersebut agar tak bersatu kembali.

Para Dewa mengambil dan membagi-bagi seluruh air dari kolam Saptayana, menyebarkannya di setiap puncak pegunungan yang ada. Setiap air yang disebarkan itulah yang kita kenal sekarang sebagai mata air. Mereka menamakan Naga Api itu sebagai Goriga, yang berarti " Kemarahan cinta seperti Api Abadi ". Kelak, Goriga tersebut akan sesekali menampakkan dirinya dalam luapan air besar untuk menghanyutkan apapun yang ada di depannya. Ini sebagai bentuk kemarahannya atas perlakuan para dewa-dewi khayangan, termasuk kepada Dewi Arumi yang ditunjuk sebagai Dewi Bumi. Kerumunan awan hitam yang menggantung di puncak pegunungan, menjadi pertanda kesedihan mendalam sekaligus kemunculannya.

Yah, begitulah kisah yang ia dengar dari para tetua desa termasuk kakeknya. Rara sedikit khawatir Goriga akan muncul siang itu, tapi melihat cuaca cerah dan tidak adanya kerumumunan awan di puncak gunung , ia kembali memandang ke tepian sungai dengan percaya diri. Setelah 1 menit berdiri di tepian, iapun mencengkram tali tas sekolahnya bersamaan dengan sepatunya, kemudian ia mulai melompat, " Hop.. hop.. hopp.. hopp.. dst".

Jembatan terdekat di desa itu berjarak cukup jauh dari sekolah Rara, ia sengaja memotong agar sampai ke tepian lebih cepat, meskipun jarang ia lakukan kalau bukan karena terpaksa. Tak boleh terlambat, pikirnya dalam hati. Hari itu ia memiliki janji penting.. sangat penting.. untuk bertemu sahabatnya dari sekolah di desa seberang, Bara. (To be continue..)

Written By : Yohanes Gatot Subroto (Y.G.S)
Date and Time : 20-02-2014 (14.30 Siang, at Sevel Kemanggisan).
Inspired by Hayao Miyazaki and Japan Culture.
Whats app : 081290732282 (Facebook : dream_catcher2015@yahoo.com)

Cerpen : 3 Bocah Jalanan (Part 1)

Sebuah Cerpen Sindiran Sosial (Bersiaplah tertawa pahit, tersindir malu, tersadar kalau anda sudah membaca cerpen 3 halaman)

“3 Bocah Jalanan (Part 1)”

3 bocah jalanan, tidur berserak di depan emperan tokoh. Beralas koran nasional yang headlinenya nampak foto sang Kepala Negara sedang nyengir sumringah menerima penghargaan dari sebuah negara. Dimana  Negara itu adalah Negara yang sering menyiksa TKI-TKI Indonesia yang bekerja disana.

3 bocah itu, yang tertua adalah Buyung (15 thn), rambutnya cepak, diterawang sedikit di bagian kepalanya, nampak bercak-bercak koreng akibat ia sering menggaruk luka di kepalanya yang belum mengering benar. Buyung anak yatim piatu, kabur dari panti asuhan dan hidup menggelandang sejak usia 10 tahun.


Ia paling kuat, pemimpin “geng kecil” ini, badannya tegap dan tinggi, meski perawakannya kurus. Sebuah tas selempang kumal terpaut di dadanya, tas bermerk “BILLABOONG”. Tak lupa terselip kecrekan kayu lengkap dengan tutup botol minuman Teh Botol Sosro yang slogannya, “apapun makanannya, minumnya tetap Teh Botol Sosro”. Tapi bagi Buyung, slogan yang benar adalah.. “Apapun bisa dimakan, asal ada makanannya..”.

Buyung hanya mengenakan baju lengan buntung. Kedua lengan baju tersebut dirobeknya akibat salah satu sisinya pernah tersangkut di kawat berduri saat kepergok mencuri mangga yang ada di belakang Klenteng Tong Fang (Notes : Ini bukan klinik yah !!). Celananya adalah celana SD kumal yang warna merahnya semakin memudar menyisakan tempelan-tempelan debu dan lumpur coklat, mirip bendera merah putih yang dikibarkan di perumahan-perumahan, nampak dekil dan pudar merahnya.

Buyung asyik tertidur sambil sesekali menyeka iler di mulutnya yang menggumpal dengan tangan kirinya, lalu diayunkanlah tangannya ke arah muka Hamid (12 thn) yang tidur di sebelahnya, ‘Plok !!”. Kontan Hamid yang tidur di sebelahnya, tersentak kaget, tapi matanya tetap terpejam.

Hidung Hamid naik turun, kembang kempis, mencium aroma tangan Buyung, "Hmmm".. gumamnya. Tapi ia masih dalam posisi tertidur. Setelah mengendus beberapa kali, tiba-tiba ia tersenyum sendiri dan secara reflek, menjulurkan lidahnya lalu mulai menjilati tangan Buyung. Baginya, ia seperti sedang menikmati es krim “Walls” yang rasanya melumer, meski yang lumer itu sebenarnya iler si Buyung. (Ihh..jorok yah ceritanya !! Biarin.. kan ini cerita tentang anak jalanan, bukan anak gedongan yang kalo ngiler dikit, langsung dilap sama Mbak-nya).

Nah, siapa Hamid ? Sama seperti Buyung, yatim piatu sejak ayah dan ibunya meninggal. Ayahnya meninggal akibat TBC, ibunya meninggal gantung diri tak kuat menafkahi Hamid dan 2 adiknya yang masih kecil. Sebuah fenomena gaya “akhir hidup” yang sering kita jumpai di kalangan rakyat miskin akibat jauhnya jurang kepedulian pemerintah dengan mereka.

Kedua adik Hamid sendiri, terpisah darinya saat mereka sedang mengejar kereta untuk pulang ke kampung. Kini, hampir tiap hari, hamid selalu memimpikan bertemu adiknya. Dan mimpi besarnya adalah, bisa makan es krim lagi bersama-sama ke dua adiknya. Karena itulah saat-saat paling bahagia baginya dan adik-adiknya semasa kedua orangtuanya masih hidup.

Karena sekali-kalinya dalam seumur hidupnya yang pendek dan panjangnya tergantung belas kasih manusia di sekitarnya, ayah Hamid membelikan mereka es krim saat Hamid berulang tahun ke 5. Es krim Walls rasa coklat stroberi, rasa yang norak tapi sangat disukai Hamid. Selebihnya, sejak saat itu, Hamid hanya bisa ngemutin es batu yang dicelup sedikit gula pasir, sambil membayangkan bahwa itu adalah es krim walls kesukaannya.

Hamid cenderung agak gemuk, bukan karena ‘makmur”, tapi sedikit mengarah ke “busung lapar”. Sebenernya otak anak ini lumayan, bahkan kalo dididik dengan benar dan disekolahkan ke SD, bisa-bisa dia mampu mengalahkan anggota DPR yang cuma lulusan TK. Ini menurut salah satu Almarhum Presiden yang jengkel saat melihat perilaku anggota DPR tidak beda jauh sama anak-anak TK saat rapat kenegaraan.

Kesukaan Hamid setiap pagi sebelum berangkat “bekerja” adalah menyempatkan diri mampir ke kios Koran Mang Dirman yang berada di sebelah warung pecel Khas Surabaya, tepatnya sebelah perempatan lampu merah, gang pertama belok kiri, di sampingnya ada pos polisi yang jarang banget ada polisinya. Kalo malem, tuh pos polisi suka dibuat tempat mesum bagi pasangan muda-mudi tanggung plus rekaman video HP, yah.. disitulah Hamid bebas menyaksikan adegan semi “blue film” bersama kedua rekannya. Mereka mengintip dari balik lobang kecil yang ada di papan seng di belakang pos polisi tersebut.

Nah, kembali ke Hamid, setiap pagi, ia menyambar Koran Kompas dan mulai membacanya. Ia asyik mengikuti berbagai perkembangan berita yang ada dan menjadi peka terhadap isu-isu politik di sekitarnya. Bahkan diantara kedua rekannya, ia adalah yang paling bisa membaca. Karena itulah, dalam dunia perngamenan mereka, Hamid dipercaya sebagai pembuat lagu. Hal ini dikarenakan wawasannya yang luas sehingga mampu menciptakan syair-syair lagu yang tak kalah dari Bung Iwan Fals. Sebut saja beberapa judul lagu karyanya : Runtuhnya DPR Kami, Janji Tak Dibawa Mati, Partai Siluman, Goyang Istana Negara, Tikus jadi Raja dll. Yang terbaru adalah “Ayu Ting-Ting jadi Presiden”.

Semua lagu-lagu itu diciptakan dan diaransemen langsung oleh Hamid yang juga pandai bermain gitar tanpa dibantu oleh Addie MS Orkestra ataupun Erwin Gutawa. Gitar bekas yang “diperoleh” Hamid, berasal dari seorang Pengamen Tua.

Kenapa ada tanda kutip pada kata “diperoleh” tersebut, ini dikarenakan gitar tersebut adalah pemberian sang Pengamen Tua tersebut, sesaat sebelum beliau meninggal. Prosesi upacara pemberiannya-pun berlangsung singkat dan sangaatttt... sederhana. Tak seperti prosesi kenegaraan kita. Sang Pengamen Tua cukup duduk bersandar di salah satu tiang penyangga kolong jembatan, lalu membacakan wejangan untuk si Hamid yang disebutnya “Cucu". Setelah itu ia serahkan gitar wasiat tersebut kepadanya, katanya "Gitar ini sudah tak gendong..kemana-mana.. tak gendong kemana-mana..untuk menyuarakan kebenaran. Sekarang terimalah gitar ini cucuku..".

Hamid-pun menerima gitar tersebut dengan berurai air mata. Sebab sesaat setelah diserahkannya gitar tersebut, si pengamen tua itu “game over”, tapi game overnya sambil menjatuhkan diri ke tubuh Hamid. Hamid tak bisa bergerak, ia ketakutan melihat wajah si pengamen tua yang sudah jadi mayat. Kebetulan malam itu tidak ada siapapun di kolong jembatan itu, si pengamen tua itupun mati dalam kesepian di bawah kolong jembatan dan hiruk pikuk kendaraan di atas kolong jembatan yang asyik melaju mencari hiburan malam ke arah Gajah Mada (Kota). 

Hamid hanya bisa menangis keras karena ketakutan, sampai pagi harinya ia ditolong pemulung yang hendak buang hajat di bawah kolong jembatan tersebut, "Protttt".

Terakhir adalah “Si Bisul” (6 tahun), itu nama panggilan karena pantatnya suka bisulan. Yang satu ini juga punya hobi garuk menggaruk seperti aparat Trantib. Bedanya, setelah digaruk, timbul rasa nikmat, sedangkan yang satu tadi, setelah mulai menggaruk, timbul kerusuhan. Obyek garukannya Si Bisul juga jelas yaitu bisul-bisul di pantatnya yang sudah tak mempan lagi diperhalus meski pakai bedak bayi tercanggih sekalipun !!

Konon bisul tersebut hanya bisa disembuhkan apabila ia bisa menemukan pohon pisang yang daunnya berwarna kuning keputihan, daunnya tinggal dipetik, dicampur lombok hijau lalu dioles ke bisulnya agar menimbulkan rasa panas akibat pedasnya. Kalo kurang pedas, mungkin bisa dicampur dengan bumbu Ma’ichi level terakhir. Ia-pun percaya akan hal itu, padahal hal tersebut hanyalah akal-akal-an si Hamid dan Si Buyung yang mengerjainya.

Si bisul ini, sejak usia 2 tahun, terpisah dari kedua orang tuanya. Dia hilang di tengah keramaian pasar malam dan ditemukan oleh seorang “pencari bakat”, maksudnya orang yang suka mengambil anak kecil untuk diperdayakan kembali sebagai buruh, agen BD, pencuri, pencopet atau hal lainnya. Dan syukurnya, Si Bisul hampir selalu berhasil melalui segala jenis tugas yang diberikannya dengan mulus, alhasil ia menjadi anak emas si Pencari Bakat tersebut. 

Tapi meski begitu, Si Bisul merasa ganjil dan jijik dengan perlakuan Si Pencari Bakat. Pantatnya sering menjadi korban kepuasan si Pencari Bakat. Bahkan bukan saja dirinya, anak-anak kecil lainpun yang disekap Si Pencari Bakat, juga mengeluhkan sakit pada bagian yang sama. Rasa perih dan jijik bercampur ketakutan, membuat Si Bisul harus berjalan terseok seok menahan sakit setiap kali Si Pencari Bakat puas melakukan aksinya. Tak tahan akan kelakuan ini, akhirnya Si Bisul nekat menggigit "sosis daging" Si Pencari Bakat yang kenyalnya melebihi jajanan anak anak, sosis siap santap kesukaannya. Si Bisul dihukum !! Tidur di bekas kurungan ayam !yang kotorannya masih ada di lantainya, kering kehitaman !!

Untungnya, Si Bisul bisa kabur dari kekuasaan Si Pencari Bakat saat polisi menggerebek gudang persembunyian Si Pencari Bakat. Namun sialnya, saat sedang digerebek, polisi hanya menangkap si Pencari Bakat dan tidak menemukan si Bisul. Sial double-nya (combo hit istilahnya kalo di Game Action), rupanya Si Bisul sedang tertidur lelap di balik kurungan ayam yang ditutupi kain celemek kumal dan beberapa tumpukan kolor yang belum kering saat penggebrekan tersebut terjadi. Alhasil, polisi tidak melihat siapapun di ruangan gudang itu, mereka-pun pulang hanya membawa Si Pencari Bakat dan beberapa anak kecil lainnya. Untuk soal tidur, Si Bisul memang nomer wahid.

Dan saat Si Bisul terbangun karena lapar, ia mencari-cari keluar dari gudang. Setelah mendapati sepotong roti, ia-pun memakannya sambil berjalan tak menentu ke arah pintu depan yang terbuka. Alhasil, terjadilah adegan seorang anak berumur 2 tahun berjalan menuju pintu dimana saat itu sedang siang hari dan cahaya mentari di luar sedang terik-teriknya.

Ia pun berjalan pelan ke arah pintu yang terbuka tersebut, terobosan cahaya menyapu tubuhnya, maka bisa jadi muncul tagline “Life is an Adventure" - mirip iklan susu bayi. Sejak itulah, dimulailah petualangan Si Bisul di jalanan dalam mencari orang tuanya, hingga ia bertemu kedua sahabatnya, Buyung dan Hamid yang seolah seperti kakak baginya. Besar harapan, ia bisa bertemu kedua orangtuanya meski ia tidak tahu apakah mereka masih mencarinya.

Saat "bekerja", si Bisul biasanya bertugas sebagai pemantau, ia berlari paling cepat dan gesit diantara ke 2 rekannya. Bila polisi/satpol PP datang, ia segera memberi tahu kedua rekannya yang sedang beraksi, agar mereka bisa bersama-sama melarikan diri. Tak jarang Bisul harus beradu lari dengan petugas polisi, namun hampir di setiap “pertandingan lari” tersebut, Bisul keluar sebagai pemenang.
Ini semua berkat rahmat Tuhan Y.M.E, dibantu dengan postur tubuh para polisi yang mengejarnya. Yah, mereka nampak gemuk , subur plus buncit sehingga "lamban dalam berlari, cepat dalam menilang".

Bisul juga ahli dalam membuat peralatan serta memperbaikinya, modalnya hanyalah barang-barang rongsokan. Dalam sekejap, ia bisa menyulap menjadi alat yang handal untuk membantu aksi mereka dalam mengamen ataupun aksi-aksi mereka lainnya. Mungkin seandainya ia jadi seniman, ia bisa jadi seniman yang luar biasa.

Yah itulah cerita awal dari ke 3 bocah jalanan ini, bagaimana kisah mereka selanjutnya ? Kita akan saksikan di TKP- "Tulisan Kampungan Pendekku" berikutnya. Ini hanyalah gambaran potret buram negeri kita, ketiga anak kecil ini : Buyung, Hamid dan Bisul adalah gambaran sejauh mana tanggung jawab negara ini terhadap keberadaan warganya, khususnya para anak-anak ini.

Sementara para pejabat asyik tidur pulas di ranjangnya dengan desiran AC yang sejuk, bahkan ada yang ditambahi desiran “gairah nakal” dari kupu-kupu malam, ketiga bocah ini, asyik tertidur berserakan di depan toko obat Cina "Lo Bentang", dengan beralaskan koran dan kardus dengan desiran semilir angin malam. Bahkan si Bisul memakai alas kain poster salah satu calon Presiden, baginya calon presiden itu mirip dengan wajah ayahnya. Entah apapun itu alasnya, tidurnya tetap di bawah langit artinya di bawah kekuasaan Tuhan Y.M.E.

Di cerpen berikutnya, saya akan mengulas kisah perjalanan mereka. Senang bisa kembali menulis untuk kompasiana setelah sekian lama vakum. Semoga tulisan ini mengkoreksi kita bersama-sama sebagai warga dari sebuah negara yang “katanya”.. adalah Tanah Surga (Notes : tulisan ini BUKAN pesenan Bang Dedy Mizwar ataupun ada kaitan sama beliau).

Akhir kata, Si Bisul yang asyik tertidur, mendadak merogoh pantatnya dan asyik menggaruk-garuknya bak kucing yang sedang nikmat menggaruk punggungnya. Setelah itu, tangannya ia keluarkan dari pantatnya dan ia tempelkan ke muka Hamid, ‘Plok”. Hamid yang sedang tertidur di tengah dan masih asyik menjilati tangan Si Buyung, tersentak kaget dengan kedua matanya yang masih tertutup.

Kembali Hamid mendengus-dengus pelan mencium aroma di tangan Si Bisul, tak lama kemudian ia kembali menjulurkan lidahnya, kini ia secara bergantian menjilati tangan Si Bisul dan Buyung.."Nyamm.. Sluurrpeee". Pikirnya, “Asyikkk.. gua dapet Es krim doubleeee…” (dalam mimpinya.. mimpi di negeri kolam susu).

CERPEN KARYA : Gatot Subroto (IKJ – FILM 2006) – Mayor : Penyutradaraan, Minor : Penulisan.
Tanggal : 05-01-2013 (jauh sebelum PEMILU yang PILU).

Ikuti dan baca tulisan pendek saya lainnya.. Silahkan berkomen, beri nilai dan menikmati. Terima kasih- GBU

Cerpen : Kisah Di Balik Payung Pelangi


13417274791451878794
Kisah di Balik Payung Pelangi

Disini hanya sebuah tepian, tepian pembatas induk segala aliran. Dan disana adalah puncak, puncak segala pijakan.

Yah, itu adalah sebuah pulau.. pulau kecil, pulau tak tersentuh, tak bertuan, yang konon hancur lebur akibat muntahan amarah gunung di tengah pulau itu. Gunung yang masih menyisakan kepongahannya itu, sesekali membuang panas nafasnya seolah menantang mentari hari itu.

Dan siang di tepi pantai itu, sosok gadis berkulit lembut, duduk di patahan kayu, kayu yang bertuliskan "Kerinci 1978", jelas tercat kusam, penanda nama sebuah kapal besar. Gadis itu, wajahnya cantik, bahkan terlalu cantik. Secantik garis-garis pantai yang melingkari pulau itu, membentuk lekung oval penyambut horizon.

Namanya Kagami (cermin), namun Kei, begitu ia sebut dirinya. Kulitnya putih, halus, matanya sipit namun lekungnya terasa manis untuk disembunyikan dari cahaya matahari. Pakaiannya adalah pakaian khas negeri sakura, kimono tipe Yukata, yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis, sehingga angin pantai-pun mudah berlarian menembus sela-sela kimononya. Paras ayunya semakin terlihat indah, dengan sebuah payung berwarna pelangi yang bagian atasnya sedikit robek dan berlubang. Cahaya matahari-pun menembus celah payung itu, membuat sisi kiri wajahnya terlihat terang.

Payung yang gagangnya masih terbuat dari kayu itu, nampak kusam, namun beberapa warna masih menyala diterpa cahaya. Ia benar-benar gadis sakura yang manis, hanya saja, perutnya nampak sedikit menggelembung besar, sedang hamil 9 bulan.

Ia putar pelan payung itu sambil bernyanyi pelan, "Hummmm.. hmmm.. Aku adalah sayap penantian.. takkan mungkin merekah tunggal.. huumm.. hmmm.. Disana adalah sayap kepulangan, agar tak terpisahkan lagi yang pernah terpisah dalam kisah.. hmmm.. hummm..".

Desir ombak menjadi nada mayornya, mengiringi mimik wajah Kei yang jelas nampak menunggu sesuatu. Sesekali bola matanya melirik ke kanan, ke kiri, terbang menyapu lautan dari sisi kiri dan tenggelam di cakrawala barat. Tapi laut hari itu kosong, tidak ada sesuatu yang lewat, jangankan perahu besar, perahu nelayan-pun tak nampak. "Seperti hari-hari biasanya..", desahnya pelan. Kei-pun tertunduk lesu, bisu menjadi tanda percakapan jiwanya dengan gulungan ombak yang berdebur pelan memanggilnya. Kembali ia mengusap pelan perutnya sambil memutar payungnya.

Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya, jelas ia mendengar, butir-butir pasir lembut pantai itu bergemericik !! Yah !! Gemericik !! Seolah terlindas sesuatu yang berat. Kei segera menoleh, gerak putaran tangan kanannya berhenti seiring diamnya payung pelanginya. Mimik wajahnya mengharap sebuah pertemuan akan terjadi, pertemuan yang dapat membunuh waktu abadinya, "Diakah ?? Ataukah ??".

Tak jauh disisinya, seorang pria muda, berpakaian jas hitam, potongan rambut gaya K-Pop, lengkap dengan warna keemasan, benar-benar mirip boyband dari negeri gingseng. Badannya tegap, lekuk dan pola jasnya nampak berbeda dari jas pada umumnya, slim fit dan borderannya berwarna perak. Celana bahannya ketat, menunjukkan sebagian lekuk lelakinya. Namun bagian celana di paha kirinya robek dengan sebuah bekas luka sayatan yang telah mengering. Lebam dan noda darah berserak di wajah dan jasnya.

Dengan bertelanjang kaki, ia pergi menghampiri Kei sambil terseok-seok, kedua pergelangan kaki dan tangannya terikat pada rantai besi yang terhubung dengan sebuah bola besi hitam berdiameter 30 cm, berat sekitar 18-20 kg.

Telunjuk tangan Kei bergerak, memberi sebuah tanda tanya pada pria muda yang datang dari kejauhan itu. Mata sipitnya semakin tipis ketika ia memicing tajam. Pria itu terus menghampirinya, meski dengan susah payah menyeret bola besi itu. Akhirnya ia berada tepat di dekat Kei.

Nyiur melambai, sepasang kepiting laut asyik bercengkrama meski berbeda warna, merah keputihan dan hijau kehitaman, ikan warna warni meliuk di balik gugusan terumbu karang. Dan nampaklah kini di hadapan kita, sepasang muda-mudi, yang telah asyik berkenalan. Sekarang, mari kita dengarkan dialog antara 2 kehidupan abadi ini :
------------------------------------------------------------------------------
PRIA MUDA : "Dari Jepang ? Dan kau berdiam disini ?? Hmm.. gadis secantikmu tinggal sendiri disini ? "
Kei mengangguk.
PRIA MUDA : "Tidak takut ?", Kei menggeleng.
PRIA MUDA : "Punya rokok ?".

Kei menggeleng, kini dengan sebuah senyum kecil. Pria itu mengangguk juga dan duduk di sebelahnya.

PRIA MUDA : "Baiklah.. aku akan memperkenalkan diriku.. Ayahku seorang yang kaya raya sekaligus penguasa. Yah, aku adalah putra seorang kepala mafia.. 3 minggu lalu, aku diculik oleh musuh-musuh ayahku. Rencana mereka adalah, meminta tebusan sebagai penggganti kekalahan mereka dalam segala kasus yang dimenangkan ayahku. Tuntutan mereka bukan saja uang, tapi seluruh anggota partai dan pemerintah yang berada di sakunya.."

Kei terus mendengarkan, payungnya ia geser sedikit ke pemuda itu, kini keduanya berpayung bersama. Namun Kei tetap menjaga jarak. "Lalu ?", tanya Kei pelan.

PRIA MUDA : "Entahlah.. setelah berminggu-minggu diborgol dgn rantai besi di kaki dan tanganku ini, yang aku tahu, rencana tidak berjalan mulus.. salah seorang dari mereka, datang membawa sebuah senjata.. tapi aku sendiri keburu pingsan akibat menahan lapar, dingin dan penyiksaan selama berminggu-minggu itu.. Tahu-tahu, kemarin aku terbangun di tepi pantai.. Pikirku, mereka membuangku kesini saat aku tak sadarkan diri. Dan sekarang, aku menanti.. menanti ayahku untuk menjemputku.. ia pasti menjemputku, putra satu-satunya pewaris kekuasaannya".

Pandangan Pria Muda itu menegang sambil menyisiri laut, sakit akibat borgol di kaki dan tangannya serta memar-memar di tubuhnya, seolah telah hilang. Ia-pun berdiri sambil meraih seonggok batu berukuran sekepal tangan.

PRIA MUDA : "Kelak aku akan membalas segala perbuatan mereka, yah.. akan kucincang mereka !! Hati dan jantung mereka untuk pesta para ikan di laut ini !! Keparat-keparat biadab itu !! Beraninya melawan kekuasaan ayahku !! Mereka lupa, aku bisa lebih kejam dari ayahku!! Ini janjiku, aku akan kembali untuk dendamku !!"

Pria Muda itu melempar batu tersebut ke dalam laut, panas suhu pantai siang itu, tak dapat menyamai panas di hati pemuda itu. Tapi sunyi berdesing di jiwanya, mendadak ia sadar, diam, linglung, salah tingkah, menggaruk-garuk kepalanya, kakinya menggesek-gesek pasir pantai, menoleh, mendapati Kei memandanginya, datar tanpa emosi seperti datarnya ombak siang itu. Ia-pun duduk perlahan di sebelah Kei.

PRIA MUDA : "Maafkan emosiku.. Sekarang lengkapi ceritamu.. bagaimana kau bisa sendiri disini ? Hamil pula !"

Kei menatap, mengangkat kedua alisnya, Pria Muda itu mengganguk sambil menunjuk-nunjuk Kei.

KEI : "Dulu disini ada sebuah kampung. Setelah Indonesia merdeka, aku dan suamiku melarikan diri kesini, kami tak bisa pulang kembali. Untungnya, penduduk disini ramah dan mau menyambut kami. Sebagai balas jasa, kami mengajari mereka bercocok tanam dan membuat peralatan pandai besi. Kami hidup bahagia selama 2 tahun.. hingga suatu waktu.."

Kei berhenti sejenak, ia menoleh ke belakang, menjulang tinggi megah ditatapnya, puncak segala amarah, namun ia lebih beringas menantang. Pria Muda itu melihat gunung tersebut dan beralih lagi pada Kei.

KEI : "Hari itu, dia (gunung) mendahuluiku.. Siallll !! Dia melahirkan anaknya yang sangat merah lengkap dengan gelegar tangisnya yang panas. Kamipun tak tahan mendengarnya, penduduk berlarian meninggalkan pulau ini. Sementara aku masih menunggu suamiku yang tak kunjung kembali mencari tanaman obat untuk kehamilanku di hutan yang ada di kaki gunung itu".

Kei membiarkan sebutir air matanya jatuh, menggumpal di atas pasir laut, menggelinding memasuki lubang kepiting yang kosong.

KEI : "Ternyata suamiku naik perahu dari sisi lain pulau ini, aliran panas telah memisah jalan antara hutan di gunung dengan kampung ini. Sementara itu, aku tertinggal sendiri di pulau ini, mengusir semua orang yang mengajakku pergi.. "Pergi !! Aku mau menunggu suamiku !!", bentakku waktu itu".

Kei memutar payungnya kembali, kali ini bagian yang berlubang dan robek menembuskan cahaya ke wajah Pria Muda tersebut.

KEI : "Cairan ketuban gunung itu mendidih, melahap rumah-rumah para penduduk. Sementara aku masih di antara tiang-tiang rumah, mencoba mundur sambil meneriakkan nama suamiku, "KAAGE !! KAAGEEEE !!! (bayangan) ". Penantian dan tepian menanti dibelakangku, amarah bergulung menghampiriku, aku terjebak.. ".

Kei menutup separuh wajahnya dengan telapak tangan kirinya, tangan kanannya kembali memutar payung pelangi itu, kali ini lebih pelan.

KEI : "Dan sayup terdengar dari jauh, suara suamiku memanggil dari perahunya, tapi.. semua terlambat.. kemarahan telah menelanku..".

PRIA MUDA : "Menelanmu ?? Maksudmu.. kau ini.. ??"

Kei hanya diam saja, Pria Muda itu tercekat, menjauh, wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Ia terseok-seok mundur, menjauhi Kei sambil menyeret bola besi yang menahannya.

PRIA MUDA : "Tidak !! Tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini !!"

KEI : "Hantu ?? Apa itu Hantu ?? Mahluk bermuka buruk ?? Ataukah jiwa yang terjebak dalam emosi kuat bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak terselesaikan selama hidupnya ??"

PRIA MUDA :"Ahhh !! Persetan !! Pergi kau !! Pergi !!"

Sontak Kei bangkit berdiri & berteriak keras.

KEI : "Kenapa harus aku yang pergi ?? Ini pulauku !! Tepianku !! Batasku !! Penantianku !!"

Pria Muda itu jatuh terjerambab, kaget mendengar teriakan Kei, kedua kakinya lemas gemetar.

KEI berjalan pelan mendekati Pria Muda itu : "Amarahmu itu persis gunung di belakangku !! Arogan !! Membabi buta !! Merusak !!".

Payung pelanginya terus diputarnya, Pria Muda itu hanya bisa melihat ke atas. Nampak gelap-terang cahaya yang silih berganti menyambangi wajah Kei, wajah Kei-pun berubah-ubah sesuai cahaya itu. Pemuda itu menutupi wajahnya ketakutan.

KEI : "Lagipula disini kau cuma sendiri ! Dengar !! Bukan badai, kelaparan, hewan liar atau aku yang seharusnya kau takuti.. tapi justru rasa kesepian.. kesepian yang panjang untuk kita lalui dan taklukkan.. ".

Kei menahan nafasnya, meredupkan pijar emosi di matanya. Pijaran yang berkilat laksana lidah-lidah api matahari itu, mendadak teduh, seperti permukaan bulan di kala purnama, beku.. sunyi.. hampa.. . Kei memegangi perutnya, tubuhnya perlahan mundur dan duduk kembali.
-------------------------------------------------------------------------
KEI : "Sudahlah.. aku hanya ingin kita saling berbagi, agar sepi tak lagi menaruh tahta di meja perjamuan yang ber-menu penantian. Aku sepi, menanti dia.. dan ini (memandang perutnya), sebab dari antara mereka, tak ada yang kembali atau hadir..".

Pria muda itu mengatup bibir, sunyi menggelindingi gendang telinganya, kata-kata Kei menghempas dia seperti kapal yang karam tertabrak karang. Pria Muda itu menunduk, raut wajahnya merangkai cerah-cerah hikmat dari setiap perkataan Kei. Ia-pun berdiri dan menulis kata " MAAF " di atas pasir. Kei melirik sejenak, tersenyum kecil dan kembali melihat pada lautan di depannya. Pria Muda itu duduk kembali di sebelah Kei, ia tak berani menatap Kei.

KEI : "Sudahlah.. pada akhirnya kita sama, kita semua akan kembali pada induk segala aliran. Karna aku adalah tepian pembatas pertemuan pulau ini dengan induk segala aliran, sedangkan kau adalah puncak segala pijakan yang dipenuhi amarah. Aku merendah menanti pertemuan, kau menjulang menanti pertemuan juga. Takdir kita bertemu disini, menunggu disini, kembali disini.. induk segala aliran.. mari menanti..".

Dan sejenak kita tinggalkan mereka, karena inilah dialog terakhir di antara mereka siang itu, selebihnya mereka berdua hanya duduk terdiam di atas patahan kayu itu. Mengamati lautan hingga matahari mulai menutup kedua matanya di ujung cakrawala, tentunya sambil memberi salam kepada segala penghuni kehidupan darat serta laut.
------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------
Di sunyinya sore itulah, Pria Muda itu mendongakkan wajahnya ke atas dan menoleh kepada Kei.

PRIA MUDA : "Lantas.. bagaimana aku bisa melihatmu sejelas ini ?? Kau yang sengaja mewujudkan diri kepadaku atau.. ??"

Kei menoleh, selirik kilas, ia menaikkan kedua bola matanya ke arah sisi kiri dahi pemuda itu yang agak tertutup rambut. Nampak sebuah lubang dengan darah yang telah mengering, cukup dalam dan menganga dahaga. Sinar mentari sore, sedikit mengkilatkan ujung peluru yang bersarang di dalam lubang itu. Kei melihat lagi pada mata pemuda itu, tersenyum dan menatap kembali ke arah laut.

KEI : "Karena kita sama.."

"Sama ??", potong si PRIA MUDA itu," Maksudmu sama bagaimana ? Sama-sama menanti ??"
Kei terdiam.

PRIA MUDA : "Baiklah.. tidak usah kau jawab, aku akan menemanimu. Tapi.. sampai kapan kita akan menanti ?"

KEI : "Entahlah.. entahlah.. mungkin sampai Sang Waktu mati.. karena ia-lah Bapa segala penantian..".

Dan malampun tiba di tepi pantai itu, kini bulan yang akan mendongeng kisah mereka. Aku telah menghilang untuk esok kembali (Salam dari Mentari, Pencitra Segala Warna-Warni.. Pelukis Yang Agung..).
---------------------------------------------------------------------------------
Y.G.S  : 8 Juli 2012.. Tetap Menanti..