Nikmati kisah spesial di iklan pendek kami bersama sutradara Billy Christian dan kameraman, Hani Pradigya.
Trailer :
http://www.youtube.com/watch?v=WT36aQ36Nqo
Youtube Kisah Cinta Pasangan Spesial :
http://www.youtube.com/watch?v=TjHoEaYJFek
Saksikan di layar komputer terdekat anda..
Selasa, 04 Maret 2014
Senin, 24 Februari 2014
Mengenang Awal Film 7 Misi Rahasia Sophie
Catatan Seorang Astrada :
"Jreeenggg !!!", menjadi asisten sutradara 1 adalah tugas yang boleh dibilang gampang-gampang susehhh... Ada yang bilang "babunya sutradara", "budaknya sutradara", "pusat segala tumpahan uneg-uneg dari seluruh divisi !! Fakmenn !! Ini asisten sutradara apa keranjang sampah ??. Ada lagi yang bilang "Penggerak Suting / Motornya Suting", jiaahhh.. mau di-ojekin kemane bang ??.. Ada lagi yang mengejek, Astrada itu Asal terang Gambar Ada.. maksudnyeeehhh...
Tapi begitulah yang seolah terjadi, meski sebenarnya itu hanya citra negatif saja. Jauh dari itu semua, ini adalah tugas mulia (Cie ilehhhh..). Apalagi saat kita mau mengerjakan sepenuh hati, demi kebaikan film tersebut, apapun yang terjadi, terus berkarya sebaik mungkin. Kalo kata orang, The Show Must Go On, istilahnya Pantang Pulang Sebelum Fee Turun !! Upss... maksud saya, sebelum film selesai.. (he3x, jadi curhat deh). Tenang, yang inimah, udah lunas tuntas...
Siang itu, telpon ane berdering.. (iya donk, masak telpon ane mengeong sambil keluarin logo smiley dan bilang.."Taraaaaaa.." ), segera ane angkat. Sutradara ane uda bilang, nantinya ada produser yang ngolling ane buat kerjaan di film terbarunya doi (Ngolling = indikasinya biasanya ngasi /nawarin kerjaan ke kru film yang ditelpon, ) . "Duss Plenggg ".. ada job nih.. tralala trililiiii... makanya hati ane berdebar debar begitu Henpon ane berdering, "Ini die nih, pucuk dicinta, ujangpun tiba.. eh.. ulam tiba..duhhh, siapa lagi tuh Ujang..kok nongol aje namanye". Begitu ane angkat, nomernya memang asing.. kata pepatah, "Tak Kenal Maka Tak Sayang", makanya gua mau kenalan ama nih pemilik nomer asing, pasti itu produser yang dibilang sutradara ane.
Segera jempol mulus ane menyentuh layar sentuh (touch screen) di HP ane, "Click", "Helooooo". "Halo.. ", sapa suara disana dengan nafas sedikit terengah rengah menghujam dunia penuh nestapa.. halahh.. dulu kecilnya, kebanyakan baca komik Si Buta Dari Goa Hantu jadi begini nih permisahhh. "Sapa nieee", sapa saya ramah meski sedikit gaya bicaranya alay-alay dan cabe cabe-an.. "Indro !! Hen.. filenya tolong di imel yah !", sambut suara disana.
File?? Ane sempet mikir bentar, perasaan seharian ini ane ngga ngerjain apapun yang ade hubungannya ama kompie.. pagi-pagi ngelatih jurus "Jemur Baju Tapak Naga" ama jurus "Ngepel Daki Kamar Kost" plus jurus "Lari Cepat Nenteng NasBung" (Nas bung = Nasi Bungkus.. tapi bedanya, ini beli sendiri, bukan sumbangan parpol tiap kampanye) . "File apaan yang mau disave yah ?", tanya ane balik. "File kontrak yang tadi lu ketik Ndro.. Kirim buruan !!", nada suaranya meninggi, nada tenor ke falsetto-an dicampur serak-serak birahi, eh basah. "Sori, ini sapa yah ?" tanya ane sambil dalam hati ngejawab, "Sejak kapan nama gua jadi Indro, dasar nih orang.. Gile lu Ndroo !!".
Mendengar saya bertanya balik, si penelepon disana terdiam sejenak.. Suasana mendadak menjadi sepi mencekam.. syadhuuu.. masing-masing membisuu.. dan... "Paaangggang BABIII !!!! Panggang BAABIII !! Panggang Babii !!".. Damn !! Lagi suasana khidmat gini, Koh Akiong dengan baju merah membaranya, lewat depan kost-kostan ane, khas dengan serundulan bunyi motor bebeknya dan boksnya terikat di jok motor belakangnya. Berteriak-teriak menjajakan daging babi di sekeliling komplek. Astagaaaa... gua baru inget, ada titipan dari tetangga kost gua buat beli daging babi utk sate. Ane mau manggil, tiba-tiba suara di telepon itu nanya lagi, "Elu Hendro bukan ??".
"Bukan.. Anda salbung..." jawab ane sambil mencoba membuka gerendel gembok pager kost. "Apa ?? Agung ?? Agung bagian kastomer serpisss ?" balasnye. Lhaaa..nih orang kaga ngatri jugaa yah, pikir ane.. duhh, mana tuh si Ko Akiong uda mulai ngilang di belokan gang, baju merahnya ditelan putihnya tembok rumah di ujung jalan. Ane masih aja diribetin ama gembok sialan yang macet ini.. percuma ane baca buku buku tentang Houdini, ngadepin gembok satu aje kewalahan, palagi dirantai kayak doi. Kalo die, dirante, dicemplungin ke dalem bak air, bisa lepas.. nah kalo ane, dicemplungin ke bak air, bisa-bisa ane tenggelem sementara setengah air di bak sudah ane telen.
"Bukan.. salbung.. anda salah sambung.. ", ane tegesin ke doi. "Ohh, kayak acara radio aje, sori-sori.. tutttttttttttt..." telpon ditutup. Jiaaaahhh, salah sambung di Gen FM itu mah acara radio, kalo elu, kaga nyambung !! Hadehhh... mana si baju merah lolos lagi.. (Berasa ada Kasino nyanyi disebelah ane). Beginilah ke-excited-an waktu pertama kali diajak dan ditawari jadi Asisten Sutradara 1 di film leyar lebar.. Deg deg serrr.. tapi malah jadi tawa sutra..
Selamat Menikmati pilemnya di bioskop terdekat atau di dipidi dipidi orijinalnye...
Salam Perpileman Indonesiaaahhh !!!
Penulis : Y.G.S - 2014
Label:
7 Misi Rahasia Sophie,
alicia rininta,
alisia rininta,
anak jalanan,
behind the scene,
billy christian,
film remaja,
film starvision,
sophie,
starvision,
stefan william
Behind The Scene Film 7 Misi Rahasia Sophie
Sebagai Asisten Sutradara 1, menjembatani kreatif sutradara dengan segala hal terkait persoalan teknis dan produksi. Bersama para pemain, Stefan William (Marko) dan Alisia Rininta (Sophie), di film terbaru karya sutradara Billy Christian.
Cerbug : Rara & Bara : Mahluk Kecil Dari Aurora ( Part 1)
RARA & BARA : MAHLUK KECIL DARI AURORA - (Bagian 1)
Sub Judul : "Sang Goriga"
Mendekati sungai, ia berhenti sejenak, mengukur-ngukur jarak antar bebatuan. Bulan itu, kemarau panjang menyebabkan debit air sungai turun drastis. Bebatuan bermunculan seolah ingin menyanyikan lagu, "Musim Panas Saat Berjemur Di Sungai Takeo". Desa di mana Rara tinggal memiliki sejarah penjajahan yang cukup panjang, Jepang adalah negara terakhir yang menguasai tempat tersebut. Namun karena keindahan alamnya, para prajurit Jepang senang menghabiskan waktu bersantai di tepian sungai itu dan memberikan nama Takeo (Arti : "Warior Hero"), mengingat masa-masa perang dunia ke 2 tersebut.
Mereka menciptakan lagu tersebut untuk mengenang masa liburan di desa itu, sebelum akhirnya menyerah pada negara negara sekutu. Beberapa dari mereka, kembali berkunjung ke desa tersebut setelah masa Agresi Militer Belanda ke 2, umumnya untuk berlibur selama 1-2 minggu di desa itu.
Tangan kanan Rara terangkat ke atas, jari telunjuk dan jempolnya ia bentuk menjadi huruf C terbalik, sementara ketiga jari lainnya ia biarkan mengatup rapat. Ia mendekatkan jari-jari tersebut ke dekat mata kanannya yang bulat, sedang mata kiri ditutup rapat-rapat. Merenggang, merapat.. merenggang, merapat.. jarak antara telunjuk dan jempol itu berubah-ubah, seiring dengan jarak antara tangan kanan dengan mata kanannya, kadang mundur, kadang mendekat. Gerak gerik rara selayaknya pengamat yang sedang meneropong dari jauh. Seiring dengan itu, poni Rara berderai-derai ditiup angin.
Rupanya ia mengukur jarak antar 1 batu dengan batu lainnya lewat jempol dan telunjuknya. Melewati sungai dengan cara berpijak dari satu batu ke batu lain, nampak seperti sebuah permainan. Ada banyak cara untuk mencapai tepian sungai di seberangnya, namun ia harus memilih rangkaian bebatuan yang sesuai dengan jangkauan kakinya. Untuk gadis kecil seumuran rara, 10 tahun, tinggi Rara melebihi rata-rata gadis seusianya, 150 cm.
Belum lagi, Rara harus memastikan apakah batu-batu itu berlumut, tajam ataupun terjal. Ia juga mencari bagian sungai mana yang nampak dangkal alih alih sebagai pijakan saat ia terpleset. Untuk urusan seperti ini, Rara sudah terbiasa. Sejak kecil, ia senang bermain di sungai tersebut bersama ayah, ibu dan kakaknya.
Lidah kecilnya terjulur keluar, Rara asyik menandai batu-batu yang menjadi arah lompatannya. Telunjuknya menunjuk ke batu terakhir yang menjadi pijakan sebelum mencapai tepian sambil kemudian mengangkat jempolnya, seolah memberi tanda bahwa dia siap untuk menyeberang. Kepalanya mendongak ke kiri, di atas gunung yang menjadi sumber mata air sungai tersebut, ia tak melihat tanda-tanda awan gelap berkerumun. Cuaca hari itu cerah, secerah wajah mungil Rara yang diterpa pantulan cahaya matahari dari sungai.
Tetua desa memang sudah mengingatkan penduduk desa agar berhati-hati saat menyeberang sungai, GORIGA bisa muncul mendadak dan menyergap mereka. Rara selalu ingat kisah itu, Goriga adalah nama lain dari banjir bandang, menurut kepercayaan adat setempat, pada masa dewa-dewi, jauh sebelum manusia menghentikan kebiasaan nomadennya, ada seorang dewa yang melanggar perintah dari khayangan. Ia mencuri Api Abadi dari Gunung Pancawarna. Ini dikarenakan rupanya yang sangat buruk, sehingga ia ditolak saat hendak melamar Dewi Arumi. Adapun keburukan mukanya berasal saat ia masih bayi, ia terkena cakaran Barakha, hewan liar pemakan bayi para dewa dewi. Terdorong sakit hatinya, dewa ini berniat menghancurkan khayangan dengan Api Abadi.
Api Abadi adalah adik kandung dari Api Utama, Sang Cahya alias Mentari. Siapapun yang mencuri kekuatan Api Abadi, dapat membuat dirinya kebal api bahkan membakar apapun yang ia mau. Dari sanalah ia membentuk dirinya menjadi Naga Api yang membakar khayangan dan menghanguskan bumi melalui kekeringan yang luar biasa. Khayangan gempar, panik, kacau dan ketakutan. Jika Naga Api berhasil terbang menerkam Api Utama, dapat dipastikan kerusakan lebih besar bisa terjadi.
Hingga muncullah Dewi Arumi, membujuk dewa berwujud naga tersebut dengan kecantikannya.
Umpan dilepas, sang Naga Api terpikat. Ia-pun mendatangi Dewi Arumi dalam rupa dewa dan tanpa sadar, meminum air dari kolam Saptayana yang tersuguhkan saat ia datang berkunjung. Setelah tertidur dalam buaian Dewi Arumi, para Dewa-Dewa menangkapnya. Ia tak bisa berubah menjadi Naga Api, sekuat apapun ia mencoba, air Saptayana telah mengkontaminasinya dan mencegah perubahannya untuk sementara.
Segera Dewa-Dewapun membelenggu dan membawanya ke dalam kolam Saptayana. Disana, ia berubah menjadi Naga Api, namun terlambat, seluruh tubuhnya telah terserap menjadi bagian dari air di kolam Saptayana. Khawatir ia akan muncul lagi, maka Dewa-Dewa bersepakat untuk mencerai beraikan bagian tubuh dewa tersebut agar tak bersatu kembali.
Para Dewa mengambil dan membagi-bagi seluruh air dari kolam Saptayana, menyebarkannya di setiap puncak pegunungan yang ada. Setiap air yang disebarkan itulah yang kita kenal sekarang sebagai mata air. Mereka menamakan Naga Api itu sebagai Goriga, yang berarti " Kemarahan cinta seperti Api Abadi ". Kelak, Goriga tersebut akan sesekali menampakkan dirinya dalam luapan air besar untuk menghanyutkan apapun yang ada di depannya. Ini sebagai bentuk kemarahannya atas perlakuan para dewa-dewi khayangan, termasuk kepada Dewi Arumi yang ditunjuk sebagai Dewi Bumi. Kerumunan awan hitam yang menggantung di puncak pegunungan, menjadi pertanda kesedihan mendalam sekaligus kemunculannya.
Yah, begitulah kisah yang ia dengar dari para tetua desa termasuk kakeknya. Rara sedikit khawatir Goriga akan muncul siang itu, tapi melihat cuaca cerah dan tidak adanya kerumumunan awan di puncak gunung , ia kembali memandang ke tepian sungai dengan percaya diri. Setelah 1 menit berdiri di tepian, iapun mencengkram tali tas sekolahnya bersamaan dengan sepatunya, kemudian ia mulai melompat, " Hop.. hop.. hopp.. hopp.. dst".
Jembatan terdekat di desa itu berjarak cukup jauh dari sekolah Rara, ia sengaja memotong agar sampai ke tepian lebih cepat, meskipun jarang ia lakukan kalau bukan karena terpaksa. Tak boleh terlambat, pikirnya dalam hati. Hari itu ia memiliki janji penting.. sangat penting.. untuk bertemu sahabatnya dari sekolah di desa seberang, Bara. (To be continue..)
Written By : Yohanes Gatot Subroto (Y.G.S)
Date and Time : 20-02-2014 (14.30 Siang, at Sevel Kemanggisan).
Inspired by Hayao Miyazaki and Japan Culture.
Whats app : 081290732282 (Facebook : dream_catcher2015@yahoo.com)
Cerpen : 3 Bocah Jalanan (Part 1)
Sebuah Cerpen Sindiran Sosial (Bersiaplah tertawa pahit, tersindir malu, tersadar kalau anda sudah membaca cerpen 3 halaman)
“3 Bocah Jalanan (Part 1)”
3 bocah jalanan, tidur berserak di depan
emperan tokoh. Beralas koran nasional yang headlinenya nampak foto sang Kepala Negara
sedang nyengir sumringah menerima penghargaan dari sebuah negara. Dimana
Negara itu adalah Negara yang sering menyiksa TKI-TKI Indonesia yang
bekerja disana.
Ia paling kuat, pemimpin “geng kecil” ini,
badannya tegap dan tinggi, meski perawakannya kurus. Sebuah tas
selempang kumal terpaut di dadanya, tas bermerk “BILLABOONG”. Tak lupa
terselip kecrekan kayu lengkap dengan tutup botol minuman Teh Botol
Sosro yang slogannya, “apapun makanannya, minumnya tetap Teh Botol
Sosro”. Tapi bagi Buyung, slogan yang benar adalah.. “Apapun bisa
dimakan, asal ada makanannya..”.
Buyung hanya mengenakan baju lengan buntung.
Kedua lengan baju tersebut dirobeknya akibat salah satu sisinya pernah
tersangkut di kawat berduri saat kepergok mencuri mangga yang ada di
belakang Klenteng Tong Fang (Notes : Ini bukan klinik yah !!). Celananya
adalah celana SD kumal yang warna merahnya semakin memudar menyisakan
tempelan-tempelan debu dan lumpur coklat, mirip bendera merah putih yang
dikibarkan di perumahan-perumahan, nampak dekil dan pudar merahnya.
Buyung asyik tertidur sambil sesekali menyeka
iler di mulutnya yang menggumpal dengan tangan kirinya, lalu
diayunkanlah tangannya ke arah muka Hamid (12 thn) yang tidur di sebelahnya, ‘Plok !!”. Kontan
Hamid yang tidur di sebelahnya, tersentak kaget, tapi matanya tetap
terpejam.
Hidung Hamid naik turun, kembang kempis, mencium
aroma tangan Buyung, "Hmmm".. gumamnya. Tapi ia masih dalam posisi tertidur. Setelah
mengendus beberapa kali, tiba-tiba ia tersenyum sendiri dan secara reflek, menjulurkan lidahnya lalu mulai menjilati tangan Buyung.
Baginya, ia seperti sedang menikmati es krim “Walls” yang rasanya
melumer, meski yang lumer itu sebenarnya iler si Buyung. (Ihh..jorok yah
ceritanya !! Biarin.. kan ini cerita tentang anak jalanan, bukan anak
gedongan yang kalo ngiler dikit, langsung dilap sama Mbak-nya).
Nah, siapa Hamid ? Sama seperti Buyung, yatim
piatu sejak ayah dan ibunya meninggal. Ayahnya meninggal akibat TBC,
ibunya meninggal gantung diri tak kuat menafkahi Hamid dan 2 adiknya
yang masih kecil. Sebuah fenomena gaya “akhir hidup” yang sering kita
jumpai di kalangan rakyat miskin akibat jauhnya jurang kepedulian pemerintah dengan
mereka.
Kedua adik Hamid sendiri, terpisah darinya saat
mereka sedang mengejar kereta untuk pulang ke kampung. Kini, hampir
tiap hari, hamid selalu memimpikan bertemu adiknya. Dan mimpi besarnya
adalah, bisa makan es krim lagi bersama-sama ke dua adiknya. Karena
itulah saat-saat paling bahagia baginya dan adik-adiknya semasa kedua orangtuanya masih hidup.
Karena sekali-kalinya dalam seumur hidupnya yang pendek dan panjangnya tergantung belas kasih manusia di sekitarnya, ayah
Hamid membelikan mereka es krim saat Hamid berulang tahun ke 5. Es krim
Walls rasa coklat stroberi, rasa yang norak tapi sangat disukai Hamid.
Selebihnya, sejak saat itu, Hamid hanya bisa ngemutin es batu yang
dicelup sedikit gula pasir, sambil membayangkan bahwa itu adalah es krim
walls kesukaannya.
Hamid cenderung agak gemuk, bukan karena
‘makmur”, tapi sedikit mengarah ke “busung lapar”. Sebenernya otak anak
ini lumayan, bahkan kalo dididik dengan benar dan disekolahkan ke SD,
bisa-bisa dia mampu mengalahkan anggota DPR yang cuma lulusan TK. Ini
menurut salah satu Almarhum Presiden yang jengkel saat melihat perilaku
anggota DPR tidak beda jauh sama anak-anak TK saat rapat kenegaraan.
Kesukaan Hamid setiap pagi sebelum berangkat
“bekerja” adalah menyempatkan diri mampir ke kios Koran Mang Dirman yang
berada di sebelah warung pecel Khas Surabaya, tepatnya sebelah perempatan lampu
merah, gang pertama belok kiri, di sampingnya ada pos polisi yang jarang
banget ada polisinya. Kalo malem, tuh pos polisi suka dibuat tempat
mesum bagi pasangan muda-mudi tanggung plus rekaman video HP, yah..
disitulah Hamid bebas menyaksikan adegan semi “blue film” bersama kedua
rekannya. Mereka mengintip dari balik lobang kecil yang ada di papan seng di belakang
pos polisi tersebut.
Nah, kembali ke Hamid, setiap pagi, ia menyambar Koran Kompas dan mulai membacanya. Ia asyik mengikuti berbagai
perkembangan berita yang ada dan menjadi peka terhadap isu-isu politik
di sekitarnya. Bahkan diantara kedua rekannya, ia adalah yang paling
bisa membaca. Karena itulah, dalam dunia perngamenan mereka, Hamid dipercaya
sebagai pembuat lagu. Hal ini dikarenakan wawasannya yang luas sehingga
mampu menciptakan syair-syair lagu yang tak kalah dari Bung Iwan Fals.
Sebut saja beberapa judul lagu karyanya : Runtuhnya DPR Kami, Janji Tak
Dibawa Mati, Partai Siluman, Goyang Istana Negara, Tikus jadi Raja dll.
Yang terbaru adalah “Ayu Ting-Ting jadi Presiden”.
Semua lagu-lagu itu diciptakan dan diaransemen
langsung oleh Hamid yang juga pandai bermain gitar tanpa dibantu oleh
Addie MS Orkestra ataupun Erwin Gutawa. Gitar bekas yang “diperoleh”
Hamid, berasal dari seorang Pengamen Tua.
Kenapa ada tanda kutip pada kata “diperoleh”
tersebut, ini dikarenakan gitar tersebut adalah pemberian sang Pengamen
Tua tersebut, sesaat sebelum beliau meninggal. Prosesi upacara pemberiannya-pun
berlangsung singkat dan sangaatttt... sederhana. Tak seperti prosesi kenegaraan kita.
Sang Pengamen Tua cukup duduk bersandar di salah satu tiang penyangga
kolong jembatan, lalu membacakan wejangan untuk si Hamid yang disebutnya
“Cucu". Setelah itu ia serahkan gitar wasiat tersebut kepadanya, katanya
"Gitar ini sudah tak gendong..kemana-mana.. tak gendong
kemana-mana..untuk menyuarakan kebenaran. Sekarang terimalah gitar ini
cucuku..".
Hamid-pun menerima gitar tersebut dengan
berurai air mata. Sebab sesaat setelah diserahkannya gitar
tersebut, si pengamen tua itu “game over”, tapi game overnya sambil
menjatuhkan diri ke tubuh Hamid. Hamid tak bisa bergerak, ia ketakutan
melihat wajah si pengamen tua yang sudah jadi mayat. Kebetulan malam itu
tidak ada siapapun di kolong jembatan itu, si pengamen tua itupun mati dalam
kesepian di bawah kolong jembatan dan hiruk pikuk kendaraan di atas
kolong jembatan yang asyik melaju mencari hiburan malam ke arah Gajah Mada
(Kota).
Hamid hanya bisa menangis keras karena ketakutan, sampai pagi
harinya ia ditolong pemulung yang hendak buang hajat di bawah kolong jembatan tersebut, "Protttt".
Terakhir adalah “Si Bisul” (6 tahun), itu nama
panggilan karena pantatnya suka bisulan. Yang satu ini juga punya hobi
garuk menggaruk seperti aparat Trantib. Bedanya, setelah digaruk, timbul
rasa nikmat, sedangkan yang satu tadi, setelah mulai menggaruk, timbul kerusuhan. Obyek garukannya Si Bisul juga jelas yaitu bisul-bisul di pantatnya yang sudah tak mempan lagi
diperhalus meski pakai bedak bayi tercanggih sekalipun !!
Konon bisul tersebut hanya bisa disembuhkan
apabila ia bisa menemukan pohon pisang yang daunnya berwarna kuning
keputihan, daunnya tinggal dipetik, dicampur lombok hijau lalu dioles ke
bisulnya agar menimbulkan rasa panas akibat pedasnya. Kalo kurang
pedas, mungkin bisa dicampur dengan bumbu Ma’ichi level terakhir. Ia-pun
percaya akan hal itu, padahal hal tersebut hanyalah akal-akal-an si
Hamid dan Si Buyung yang mengerjainya.
Si bisul ini, sejak usia 2 tahun, terpisah dari
kedua orang tuanya. Dia hilang di tengah keramaian pasar malam dan
ditemukan oleh seorang “pencari bakat”, maksudnya orang yang suka
mengambil anak kecil untuk diperdayakan kembali sebagai buruh, agen BD, pencuri, pencopet
atau hal lainnya. Dan syukurnya, Si Bisul hampir selalu berhasil melalui segala jenis tugas yang diberikannya dengan mulus, alhasil ia menjadi anak emas si Pencari Bakat tersebut.
Tapi meski begitu, Si Bisul merasa ganjil dan jijik dengan perlakuan Si Pencari Bakat. Pantatnya sering menjadi korban kepuasan si Pencari Bakat. Bahkan bukan saja dirinya, anak-anak kecil lainpun yang disekap Si Pencari Bakat, juga mengeluhkan sakit pada bagian yang sama. Rasa perih dan jijik bercampur ketakutan, membuat Si Bisul harus berjalan terseok seok menahan sakit setiap kali Si Pencari Bakat puas melakukan aksinya. Tak tahan akan kelakuan ini, akhirnya Si Bisul nekat menggigit "sosis daging" Si Pencari Bakat yang kenyalnya melebihi jajanan anak anak, sosis siap santap kesukaannya. Si Bisul dihukum !! Tidur di bekas kurungan ayam !yang kotorannya masih ada di lantainya, kering kehitaman !!
Untungnya, Si Bisul bisa kabur dari kekuasaan Si Pencari Bakat saat polisi menggerebek gudang persembunyian Si Pencari Bakat. Namun sialnya, saat sedang digerebek, polisi hanya
menangkap si Pencari Bakat dan tidak menemukan si Bisul. Sial double-nya
(combo hit istilahnya kalo di Game Action), rupanya Si Bisul sedang tertidur
lelap di balik kurungan ayam yang ditutupi kain celemek kumal dan
beberapa tumpukan kolor yang belum kering saat penggebrekan tersebut
terjadi. Alhasil, polisi tidak melihat siapapun di ruangan gudang itu,
mereka-pun pulang hanya membawa Si Pencari Bakat dan beberapa anak kecil lainnya. Untuk soal tidur, Si Bisul memang nomer wahid.
Dan saat Si Bisul terbangun karena lapar, ia
mencari-cari keluar dari gudang. Setelah mendapati sepotong roti, ia-pun
memakannya sambil berjalan tak menentu ke arah pintu depan yang
terbuka. Alhasil, terjadilah adegan seorang anak berumur 2 tahun
berjalan menuju pintu dimana saat itu sedang siang hari dan cahaya
mentari di luar sedang terik-teriknya.
Ia pun berjalan pelan ke arah pintu yang terbuka tersebut, terobosan cahaya menyapu tubuhnya,
maka bisa jadi muncul tagline “Life is an Adventure" - mirip iklan susu
bayi. Sejak itulah, dimulailah petualangan Si Bisul di jalanan dalam
mencari orang tuanya, hingga ia bertemu kedua sahabatnya, Buyung dan
Hamid yang seolah seperti kakak baginya. Besar harapan, ia bisa bertemu
kedua orangtuanya meski ia tidak tahu apakah mereka masih mencarinya.
Saat "bekerja", si Bisul biasanya bertugas
sebagai pemantau, ia berlari paling cepat dan gesit diantara ke 2
rekannya. Bila polisi/satpol PP datang, ia segera memberi tahu kedua
rekannya yang sedang beraksi, agar mereka bisa bersama-sama melarikan
diri. Tak jarang Bisul harus beradu lari dengan petugas polisi, namun
hampir di setiap “pertandingan lari” tersebut, Bisul keluar sebagai
pemenang.
Ini semua berkat rahmat Tuhan Y.M.E, dibantu
dengan postur tubuh para polisi yang mengejarnya. Yah, mereka nampak gemuk ,
subur plus buncit sehingga "lamban dalam berlari, cepat dalam
menilang".
Bisul juga ahli dalam membuat peralatan serta memperbaikinya,
modalnya hanyalah barang-barang rongsokan. Dalam sekejap, ia bisa
menyulap menjadi alat yang handal untuk membantu aksi mereka dalam mengamen ataupun aksi-aksi mereka lainnya. Mungkin seandainya ia jadi
seniman, ia bisa jadi seniman yang luar biasa.
Yah itulah cerita awal dari ke 3 bocah jalanan
ini, bagaimana kisah mereka selanjutnya ? Kita akan saksikan di TKP-
"Tulisan Kampungan Pendekku" berikutnya. Ini hanyalah gambaran potret
buram negeri kita, ketiga anak kecil ini : Buyung, Hamid dan Bisul
adalah gambaran sejauh mana tanggung jawab negara ini terhadap
keberadaan warganya, khususnya para anak-anak ini.
Sementara para pejabat asyik tidur pulas di
ranjangnya dengan desiran AC yang sejuk, bahkan ada yang ditambahi
desiran “gairah nakal” dari kupu-kupu malam, ketiga bocah ini, asyik
tertidur berserakan di depan toko obat Cina "Lo Bentang", dengan beralaskan koran dan
kardus dengan desiran semilir angin malam. Bahkan si Bisul memakai alas
kain poster salah satu calon Presiden, baginya calon presiden itu mirip
dengan wajah ayahnya. Entah apapun itu alasnya, tidurnya tetap di bawah
langit artinya di bawah kekuasaan Tuhan Y.M.E.
Di cerpen berikutnya, saya akan mengulas kisah
perjalanan mereka. Senang bisa kembali menulis untuk kompasiana setelah
sekian lama vakum. Semoga tulisan ini mengkoreksi kita bersama-sama
sebagai warga dari sebuah negara yang “katanya”.. adalah Tanah Surga
(Notes : tulisan ini BUKAN pesenan Bang Dedy Mizwar ataupun ada kaitan
sama beliau).
Akhir kata, Si Bisul yang asyik tertidur,
mendadak merogoh pantatnya dan asyik menggaruk-garuknya bak kucing yang
sedang nikmat menggaruk punggungnya. Setelah itu, tangannya ia keluarkan
dari pantatnya dan ia tempelkan ke muka Hamid, ‘Plok”. Hamid yang
sedang tertidur di tengah dan masih asyik menjilati tangan Si Buyung, tersentak kaget
dengan kedua matanya yang masih tertutup.
Kembali Hamid mendengus-dengus pelan mencium
aroma di tangan Si Bisul, tak lama kemudian ia kembali menjulurkan
lidahnya, kini ia secara bergantian menjilati tangan Si Bisul dan
Buyung.."Nyamm.. Sluurrpeee". Pikirnya, “Asyikkk.. gua dapet Es krim
doubleeee…” (dalam mimpinya.. mimpi di negeri kolam susu).
CERPEN KARYA : Gatot Subroto (IKJ – FILM 2006) – Mayor : Penyutradaraan, Minor : Penulisan.
Tanggal : 05-01-2013 (jauh sebelum PEMILU yang PILU).
Ikuti dan baca tulisan pendek saya lainnya.. Silahkan berkomen, beri nilai dan menikmati. Terima kasih- GBU
Cerpen : Kisah Di Balik Payung Pelangi
Disini hanya sebuah tepian, tepian pembatas induk segala aliran. Dan disana adalah puncak, puncak segala pijakan.
Yah,
itu adalah sebuah pulau.. pulau kecil, pulau tak tersentuh, tak
bertuan, yang konon hancur lebur akibat muntahan amarah gunung di
tengah pulau itu. Gunung yang masih menyisakan kepongahannya itu,
sesekali membuang panas nafasnya seolah menantang mentari hari itu.
Dan
siang di tepi pantai itu, sosok gadis berkulit lembut, duduk di
patahan kayu, kayu yang bertuliskan "Kerinci 1978", jelas tercat kusam,
penanda nama sebuah kapal besar. Gadis itu, wajahnya cantik, bahkan
terlalu cantik. Secantik garis-garis pantai yang melingkari pulau itu,
membentuk lekung oval penyambut horizon.
Namanya Kagami
(cermin), namun Kei, begitu ia sebut dirinya. Kulitnya putih, halus,
matanya sipit namun lekungnya terasa manis untuk disembunyikan dari
cahaya matahari. Pakaiannya adalah pakaian khas negeri sakura, kimono
tipe Yukata, yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis,
sehingga angin pantai-pun mudah berlarian menembus sela-sela kimononya.
Paras ayunya semakin terlihat indah, dengan sebuah payung berwarna
pelangi yang bagian atasnya sedikit robek dan berlubang. Cahaya
matahari-pun menembus celah payung itu, membuat sisi kiri wajahnya
terlihat terang.
Payung yang gagangnya masih terbuat dari kayu
itu, nampak kusam, namun beberapa warna masih menyala diterpa cahaya.
Ia benar-benar gadis sakura yang manis, hanya saja, perutnya nampak
sedikit menggelembung besar, sedang hamil 9 bulan.
Ia putar pelan payung itu sambil bernyanyi pelan, "Hummmm.. hmmm.. Aku
adalah sayap penantian.. takkan mungkin merekah tunggal.. huumm..
hmmm.. Disana adalah sayap kepulangan, agar tak terpisahkan lagi yang
pernah terpisah dalam kisah.. hmmm.. hummm..".
Desir ombak
menjadi nada mayornya, mengiringi mimik wajah Kei yang jelas nampak
menunggu sesuatu. Sesekali bola matanya melirik ke kanan, ke kiri,
terbang menyapu lautan dari sisi kiri dan tenggelam di cakrawala barat.
Tapi laut hari itu kosong, tidak ada sesuatu yang lewat, jangankan
perahu besar, perahu nelayan-pun tak nampak. "Seperti hari-hari
biasanya..", desahnya pelan. Kei-pun tertunduk lesu, bisu menjadi tanda
percakapan jiwanya dengan gulungan ombak yang berdebur pelan
memanggilnya. Kembali ia mengusap pelan perutnya sambil memutar
payungnya.
Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya, jelas ia
mendengar, butir-butir pasir lembut pantai itu bergemericik !! Yah !!
Gemericik !! Seolah terlindas sesuatu yang berat. Kei segera menoleh,
gerak putaran tangan kanannya berhenti seiring diamnya payung
pelanginya. Mimik wajahnya mengharap sebuah pertemuan akan terjadi,
pertemuan yang dapat membunuh waktu abadinya, "Diakah ?? Ataukah ??".
Tak
jauh disisinya, seorang pria muda, berpakaian jas hitam, potongan
rambut gaya K-Pop, lengkap dengan warna keemasan, benar-benar mirip
boyband dari negeri gingseng. Badannya tegap, lekuk dan pola jasnya
nampak berbeda dari jas pada umumnya, slim fit dan borderannya berwarna
perak. Celana bahannya ketat, menunjukkan sebagian lekuk lelakinya.
Namun bagian celana di paha kirinya robek dengan sebuah bekas luka
sayatan yang telah mengering. Lebam dan noda darah berserak di wajah dan
jasnya.
Dengan bertelanjang kaki, ia pergi menghampiri Kei
sambil terseok-seok, kedua pergelangan kaki dan tangannya terikat pada
rantai besi yang terhubung dengan sebuah bola besi hitam berdiameter 30
cm, berat sekitar 18-20 kg.
Telunjuk tangan Kei bergerak,
memberi sebuah tanda tanya pada pria muda yang datang dari kejauhan
itu. Mata sipitnya semakin tipis ketika ia memicing tajam. Pria itu
terus menghampirinya, meski dengan susah payah menyeret bola besi itu.
Akhirnya ia berada tepat di dekat Kei.
Nyiur melambai, sepasang
kepiting laut asyik bercengkrama meski berbeda warna, merah keputihan
dan hijau kehitaman, ikan warna warni meliuk di balik gugusan terumbu
karang. Dan nampaklah kini di hadapan kita, sepasang muda-mudi, yang
telah asyik berkenalan. Sekarang, mari kita dengarkan dialog antara 2
kehidupan abadi ini :
------------------------------------------------------------------------------
PRIA MUDA : "Dari Jepang ? Dan kau berdiam disini ?? Hmm.. gadis secantikmu tinggal sendiri disini ? "
Kei mengangguk.
PRIA MUDA : "Tidak takut ?", Kei menggeleng.
PRIA MUDA : "Punya rokok ?".
Kei menggeleng, kini dengan sebuah senyum kecil. Pria itu mengangguk juga dan duduk di sebelahnya.
PRIA MUDA : "Baiklah..
aku akan memperkenalkan diriku.. Ayahku seorang yang kaya raya
sekaligus penguasa. Yah, aku adalah putra seorang kepala mafia.. 3
minggu lalu, aku diculik oleh musuh-musuh ayahku. Rencana mereka adalah,
meminta tebusan sebagai penggganti kekalahan mereka dalam segala kasus
yang dimenangkan ayahku. Tuntutan mereka bukan saja uang, tapi seluruh
anggota partai dan pemerintah yang berada di sakunya.."
Kei
terus mendengarkan, payungnya ia geser sedikit ke pemuda itu, kini
keduanya berpayung bersama. Namun Kei tetap menjaga jarak. "Lalu ?",
tanya Kei pelan.
PRIA MUDA : "Entahlah.. setelah
berminggu-minggu diborgol dgn rantai besi di kaki dan tanganku ini,
yang aku tahu, rencana tidak berjalan mulus.. salah seorang dari
mereka, datang membawa sebuah senjata.. tapi aku sendiri keburu pingsan
akibat menahan lapar, dingin dan penyiksaan selama berminggu-minggu
itu.. Tahu-tahu, kemarin aku terbangun di tepi pantai.. Pikirku, mereka
membuangku kesini saat aku tak sadarkan diri. Dan sekarang, aku
menanti.. menanti ayahku untuk menjemputku.. ia pasti menjemputku,
putra satu-satunya pewaris kekuasaannya".
Pandangan Pria Muda itu
menegang sambil menyisiri laut, sakit akibat borgol di kaki dan
tangannya serta memar-memar di tubuhnya, seolah telah hilang. Ia-pun
berdiri sambil meraih seonggok batu berukuran sekepal tangan.
PRIA MUDA :
"Kelak aku akan membalas segala perbuatan mereka, yah.. akan kucincang
mereka !! Hati dan jantung mereka untuk pesta para ikan di laut ini !!
Keparat-keparat biadab itu !! Beraninya melawan kekuasaan ayahku !!
Mereka lupa, aku bisa lebih kejam dari ayahku!! Ini janjiku, aku akan
kembali untuk dendamku !!"
Pria Muda itu melempar batu tersebut
ke dalam laut, panas suhu pantai siang itu, tak dapat menyamai panas di
hati pemuda itu. Tapi sunyi berdesing di jiwanya, mendadak ia sadar,
diam, linglung, salah tingkah, menggaruk-garuk kepalanya, kakinya
menggesek-gesek pasir pantai, menoleh, mendapati Kei memandanginya,
datar tanpa emosi seperti datarnya ombak siang itu. Ia-pun duduk
perlahan di sebelah Kei.
PRIA MUDA : "Maafkan emosiku.. Sekarang lengkapi ceritamu.. bagaimana kau bisa sendiri disini ? Hamil pula !"
Kei menatap, mengangkat kedua alisnya, Pria Muda itu mengganguk sambil menunjuk-nunjuk Kei.
KEI :
"Dulu disini ada sebuah kampung. Setelah Indonesia merdeka, aku dan
suamiku melarikan diri kesini, kami tak bisa pulang kembali. Untungnya,
penduduk disini ramah dan mau menyambut kami. Sebagai balas jasa, kami
mengajari mereka bercocok tanam dan membuat peralatan pandai besi. Kami
hidup bahagia selama 2 tahun.. hingga suatu waktu.."
Kei
berhenti sejenak, ia menoleh ke belakang, menjulang tinggi megah
ditatapnya, puncak segala amarah, namun ia lebih beringas menantang.
Pria Muda itu melihat gunung tersebut dan beralih lagi pada Kei.
KEI : "Hari
itu, dia (gunung) mendahuluiku.. Siallll !! Dia melahirkan anaknya
yang sangat merah lengkap dengan gelegar tangisnya yang panas. Kamipun
tak tahan mendengarnya, penduduk berlarian meninggalkan pulau ini.
Sementara aku masih menunggu suamiku yang tak kunjung kembali mencari
tanaman obat untuk kehamilanku di hutan yang ada di kaki gunung itu".
Kei membiarkan sebutir air matanya jatuh, menggumpal di atas pasir laut, menggelinding memasuki lubang kepiting yang kosong.
KEI :
"Ternyata suamiku naik perahu dari sisi lain pulau ini, aliran panas
telah memisah jalan antara hutan di gunung dengan kampung ini. Sementara
itu, aku tertinggal sendiri di pulau ini, mengusir semua orang yang
mengajakku pergi.. "Pergi !! Aku mau menunggu suamiku !!", bentakku
waktu itu".
Kei memutar payungnya kembali, kali ini bagian yang berlubang dan robek menembuskan cahaya ke wajah Pria Muda tersebut.
KEI : "Cairan
ketuban gunung itu mendidih, melahap rumah-rumah para penduduk.
Sementara aku masih di antara tiang-tiang rumah, mencoba mundur sambil
meneriakkan nama suamiku, "KAAGE !! KAAGEEEE !!! (bayangan) ". Penantian
dan tepian menanti dibelakangku, amarah bergulung menghampiriku, aku
terjebak.. ".
Kei menutup separuh wajahnya dengan telapak tangan
kirinya, tangan kanannya kembali memutar payung pelangi itu, kali ini
lebih pelan.
KEI : "Dan sayup terdengar dari jauh, suara suamiku memanggil dari perahunya, tapi.. semua terlambat.. kemarahan telah menelanku..".
PRIA MUDA : "Menelanmu ?? Maksudmu.. kau ini.. ??"
Kei
hanya diam saja, Pria Muda itu tercekat, menjauh, wajahnya menunjukkan
ketakutan yang luar biasa. Ia terseok-seok mundur, menjauhi Kei sambil
menyeret bola besi yang menahannya.
PRIA MUDA : "Tidak !! Tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini !!"
KEI : "Hantu ?? Apa itu Hantu ?? Mahluk bermuka buruk ?? Ataukah jiwa yang terjebak dalam emosi kuat bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak terselesaikan selama hidupnya ??"
PRIA MUDA :"Ahhh !! Persetan !! Pergi kau !! Pergi !!"
Sontak Kei bangkit berdiri & berteriak keras.
KEI : "Kenapa harus aku yang pergi ?? Ini pulauku !! Tepianku !! Batasku !! Penantianku !!"
Pria Muda itu jatuh terjerambab, kaget mendengar teriakan Kei, kedua kakinya lemas gemetar.
KEI berjalan pelan mendekati Pria Muda itu : "Amarahmu itu persis gunung di belakangku !! Arogan !! Membabi buta !! Merusak !!".
Payung
pelanginya terus diputarnya, Pria Muda itu hanya bisa melihat ke atas.
Nampak gelap-terang cahaya yang silih berganti menyambangi wajah Kei,
wajah Kei-pun berubah-ubah sesuai cahaya itu. Pemuda itu menutupi
wajahnya ketakutan.
KEI : "Lagipula disini kau cuma sendiri ! Dengar !! Bukan
badai, kelaparan, hewan liar atau aku yang seharusnya kau takuti..
tapi justru rasa kesepian.. kesepian yang panjang untuk kita lalui dan
taklukkan.. ".
Kei menahan nafasnya, meredupkan pijar
emosi di matanya. Pijaran yang berkilat laksana lidah-lidah api
matahari itu, mendadak teduh, seperti permukaan bulan di kala purnama,
beku.. sunyi.. hampa.. . Kei memegangi perutnya, tubuhnya perlahan
mundur dan duduk kembali.
-------------------------------------------------------------------------
KEI : "Sudahlah.. aku hanya ingin kita saling berbagi, agar sepi tak lagi menaruh tahta di meja perjamuan yang ber-menu penantian. Aku sepi, menanti dia.. dan ini (memandang perutnya), sebab dari antara mereka, tak ada yang kembali atau hadir..".
Pria
muda itu mengatup bibir, sunyi menggelindingi gendang telinganya,
kata-kata Kei menghempas dia seperti kapal yang karam tertabrak karang.
Pria Muda itu menunduk, raut wajahnya merangkai cerah-cerah hikmat dari
setiap perkataan Kei. Ia-pun berdiri dan menulis kata " MAAF " di atas
pasir. Kei melirik sejenak, tersenyum kecil dan kembali melihat pada
lautan di depannya. Pria Muda itu duduk kembali di sebelah Kei, ia tak
berani menatap Kei.
KEI : "Sudahlah.. pada akhirnya kita
sama, kita semua akan kembali pada induk segala aliran. Karna aku
adalah tepian pembatas pertemuan pulau ini dengan induk segala aliran,
sedangkan kau adalah puncak segala pijakan yang dipenuhi amarah. Aku
merendah menanti pertemuan, kau menjulang menanti pertemuan juga.
Takdir kita bertemu disini, menunggu disini, kembali disini.. induk
segala aliran.. mari menanti..".
Dan sejenak kita tinggalkan
mereka, karena inilah dialog terakhir di antara mereka siang itu,
selebihnya mereka berdua hanya duduk terdiam di atas patahan kayu itu.
Mengamati lautan hingga matahari mulai menutup kedua matanya di ujung
cakrawala, tentunya sambil memberi salam kepada segala penghuni
kehidupan darat serta laut.
------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------
Di sunyinya sore itulah, Pria Muda itu mendongakkan wajahnya ke atas dan menoleh kepada Kei.
PRIA MUDA : "Lantas.. bagaimana aku bisa melihatmu sejelas ini ?? Kau yang sengaja mewujudkan diri kepadaku atau.. ??"
Kei
menoleh, selirik kilas, ia menaikkan kedua bola matanya ke arah sisi
kiri dahi pemuda itu yang agak tertutup rambut. Nampak sebuah lubang
dengan darah yang telah mengering, cukup dalam dan menganga dahaga.
Sinar mentari sore, sedikit mengkilatkan ujung peluru yang bersarang di
dalam lubang itu. Kei melihat lagi pada mata pemuda itu, tersenyum dan
menatap kembali ke arah laut.
KEI : "Karena kita sama.."
"Sama ??", potong si PRIA MUDA itu," Maksudmu sama bagaimana ? Sama-sama menanti ??"
Kei terdiam.
PRIA MUDA : "Baiklah.. tidak usah kau jawab, aku akan menemanimu. Tapi.. sampai kapan kita akan menanti ?"
KEI : "Entahlah.. entahlah.. mungkin sampai Sang Waktu mati.. karena ia-lah Bapa segala penantian..".
Dan
malampun tiba di tepi pantai itu, kini bulan yang akan mendongeng
kisah mereka. Aku telah menghilang untuk esok kembali (Salam dari
Mentari, Pencitra Segala Warna-Warni.. Pelukis Yang Agung..).
---------------------------------------------------------------------------------
Y.G.S : 8 Juli 2012.. Tetap Menanti..
Langganan:
Postingan (Atom)