Senin, 24 Februari 2014

Cerbug : Rara & Bara : Mahluk Kecil Dari Aurora ( Part 1)

RARA & BARA : MAHLUK KECIL DARI AURORA - (Bagian 1)

Sub Judul : "Sang Goriga"

Salah satu karya Hayao M, Totoro
(Inspired By : Hayao Miyazaki - My Neighboor Totoro)
Menuruni bukit di belakang sekolahnya, menjelajahi selokan, melewati jembatan berbatu di atasnya yang dibuat pada masa penjajahan Belanda, tepatnya penguasaan Gubernur Sir William, kaki Rara lincah menjelajahi rerumputan di atasnya. Tas sekolah berwarna ungu, diselempangkan di samping bahunya, sedang tangan kirinya, sibuk mencengkram sepatu kecil berwarna ungu yang dibelikan almarhum ibunya.

Mendekati sungai, ia berhenti sejenak, mengukur-ngukur jarak antar bebatuan. Bulan itu, kemarau panjang menyebabkan debit air sungai turun drastis. Bebatuan bermunculan seolah ingin menyanyikan lagu, "Musim Panas Saat Berjemur Di Sungai Takeo". Desa di mana Rara tinggal memiliki sejarah penjajahan yang cukup panjang, Jepang adalah negara terakhir yang menguasai tempat tersebut. Namun karena keindahan alamnya, para prajurit Jepang senang menghabiskan waktu bersantai di tepian sungai itu dan memberikan nama Takeo (Arti : "Warior Hero"), mengingat masa-masa perang dunia ke 2 tersebut.

Mereka menciptakan lagu tersebut untuk mengenang masa liburan di desa itu, sebelum akhirnya menyerah pada negara negara sekutu. Beberapa dari mereka, kembali berkunjung ke desa tersebut setelah masa Agresi Militer Belanda ke 2, umumnya untuk berlibur selama 1-2 minggu di desa itu.

Tangan kanan Rara terangkat ke atas, jari telunjuk dan jempolnya ia bentuk menjadi huruf C terbalik, sementara ketiga jari lainnya ia biarkan mengatup rapat. Ia mendekatkan jari-jari tersebut ke dekat mata kanannya yang bulat, sedang mata kiri ditutup rapat-rapat. Merenggang, merapat.. merenggang, merapat.. jarak antara telunjuk dan jempol itu berubah-ubah, seiring dengan jarak antara tangan kanan dengan mata kanannya, kadang mundur, kadang mendekat. Gerak gerik rara selayaknya pengamat yang sedang meneropong dari jauh. Seiring dengan itu, poni Rara berderai-derai ditiup angin.

Rupanya ia mengukur jarak antar 1 batu dengan batu lainnya lewat jempol dan telunjuknya. Melewati sungai dengan cara berpijak dari satu batu ke batu lain, nampak seperti sebuah permainan. Ada banyak cara untuk mencapai tepian sungai di seberangnya, namun ia harus memilih rangkaian bebatuan yang sesuai dengan jangkauan kakinya. Untuk gadis kecil seumuran rara, 10 tahun, tinggi Rara melebihi rata-rata gadis seusianya, 150 cm.

Belum lagi, Rara harus memastikan apakah batu-batu itu berlumut, tajam ataupun terjal. Ia juga mencari bagian sungai mana yang nampak dangkal alih alih sebagai pijakan saat ia terpleset. Untuk urusan seperti ini, Rara sudah terbiasa. Sejak kecil, ia senang bermain di sungai tersebut bersama ayah, ibu dan kakaknya.

Lidah kecilnya terjulur keluar, Rara asyik menandai batu-batu yang menjadi arah lompatannya. Telunjuknya menunjuk ke batu terakhir yang menjadi pijakan sebelum mencapai tepian sambil kemudian mengangkat jempolnya, seolah memberi tanda bahwa dia siap untuk menyeberang. Kepalanya mendongak ke kiri, di atas gunung yang menjadi sumber mata air sungai tersebut, ia tak melihat tanda-tanda awan gelap berkerumun. Cuaca hari itu cerah, secerah wajah mungil Rara yang diterpa pantulan cahaya matahari dari sungai.

Tetua desa memang sudah mengingatkan penduduk desa agar berhati-hati saat menyeberang sungai, GORIGA bisa muncul mendadak dan menyergap mereka. Rara selalu ingat kisah itu, Goriga adalah nama lain dari banjir bandang, menurut kepercayaan adat setempat, pada masa dewa-dewi, jauh sebelum manusia menghentikan kebiasaan nomadennya, ada seorang dewa yang melanggar perintah dari khayangan. Ia mencuri Api Abadi dari Gunung Pancawarna. Ini dikarenakan rupanya yang sangat buruk, sehingga ia ditolak saat hendak melamar Dewi Arumi. Adapun keburukan mukanya berasal saat ia masih bayi, ia terkena cakaran Barakha, hewan liar pemakan bayi para dewa dewi. Terdorong sakit hatinya, dewa ini berniat menghancurkan khayangan dengan Api Abadi.

Api Abadi adalah adik kandung dari Api Utama, Sang Cahya alias Mentari. Siapapun yang mencuri kekuatan Api Abadi, dapat membuat dirinya kebal api bahkan membakar apapun yang ia mau. Dari sanalah ia membentuk dirinya menjadi Naga Api yang membakar khayangan dan menghanguskan bumi melalui kekeringan yang luar biasa. Khayangan gempar, panik, kacau dan ketakutan. Jika Naga Api berhasil terbang menerkam Api Utama, dapat dipastikan kerusakan lebih besar bisa terjadi.
Hingga muncullah Dewi Arumi, membujuk dewa berwujud naga tersebut dengan kecantikannya.

Umpan dilepas, sang Naga Api terpikat. Ia-pun mendatangi Dewi Arumi dalam rupa dewa dan tanpa sadar, meminum air dari kolam Saptayana yang tersuguhkan saat ia datang berkunjung. Setelah tertidur dalam buaian Dewi Arumi, para Dewa-Dewa menangkapnya. Ia tak bisa berubah menjadi Naga Api, sekuat apapun ia mencoba, air Saptayana telah mengkontaminasinya dan mencegah perubahannya untuk sementara.

Segera Dewa-Dewapun membelenggu dan membawanya ke dalam kolam Saptayana. Disana, ia berubah menjadi Naga Api, namun terlambat, seluruh tubuhnya telah terserap menjadi bagian dari air di kolam Saptayana. Khawatir ia akan muncul lagi, maka Dewa-Dewa bersepakat untuk mencerai beraikan bagian tubuh dewa tersebut agar tak bersatu kembali.

Para Dewa mengambil dan membagi-bagi seluruh air dari kolam Saptayana, menyebarkannya di setiap puncak pegunungan yang ada. Setiap air yang disebarkan itulah yang kita kenal sekarang sebagai mata air. Mereka menamakan Naga Api itu sebagai Goriga, yang berarti " Kemarahan cinta seperti Api Abadi ". Kelak, Goriga tersebut akan sesekali menampakkan dirinya dalam luapan air besar untuk menghanyutkan apapun yang ada di depannya. Ini sebagai bentuk kemarahannya atas perlakuan para dewa-dewi khayangan, termasuk kepada Dewi Arumi yang ditunjuk sebagai Dewi Bumi. Kerumunan awan hitam yang menggantung di puncak pegunungan, menjadi pertanda kesedihan mendalam sekaligus kemunculannya.

Yah, begitulah kisah yang ia dengar dari para tetua desa termasuk kakeknya. Rara sedikit khawatir Goriga akan muncul siang itu, tapi melihat cuaca cerah dan tidak adanya kerumumunan awan di puncak gunung , ia kembali memandang ke tepian sungai dengan percaya diri. Setelah 1 menit berdiri di tepian, iapun mencengkram tali tas sekolahnya bersamaan dengan sepatunya, kemudian ia mulai melompat, " Hop.. hop.. hopp.. hopp.. dst".

Jembatan terdekat di desa itu berjarak cukup jauh dari sekolah Rara, ia sengaja memotong agar sampai ke tepian lebih cepat, meskipun jarang ia lakukan kalau bukan karena terpaksa. Tak boleh terlambat, pikirnya dalam hati. Hari itu ia memiliki janji penting.. sangat penting.. untuk bertemu sahabatnya dari sekolah di desa seberang, Bara. (To be continue..)

Written By : Yohanes Gatot Subroto (Y.G.S)
Date and Time : 20-02-2014 (14.30 Siang, at Sevel Kemanggisan).
Inspired by Hayao Miyazaki and Japan Culture.
Whats app : 081290732282 (Facebook : dream_catcher2015@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar