Senin, 24 Februari 2014

Cerpen : 3 Bocah Jalanan (Part 1)

Sebuah Cerpen Sindiran Sosial (Bersiaplah tertawa pahit, tersindir malu, tersadar kalau anda sudah membaca cerpen 3 halaman)

“3 Bocah Jalanan (Part 1)”

3 bocah jalanan, tidur berserak di depan emperan tokoh. Beralas koran nasional yang headlinenya nampak foto sang Kepala Negara sedang nyengir sumringah menerima penghargaan dari sebuah negara. Dimana  Negara itu adalah Negara yang sering menyiksa TKI-TKI Indonesia yang bekerja disana.

3 bocah itu, yang tertua adalah Buyung (15 thn), rambutnya cepak, diterawang sedikit di bagian kepalanya, nampak bercak-bercak koreng akibat ia sering menggaruk luka di kepalanya yang belum mengering benar. Buyung anak yatim piatu, kabur dari panti asuhan dan hidup menggelandang sejak usia 10 tahun.


Ia paling kuat, pemimpin “geng kecil” ini, badannya tegap dan tinggi, meski perawakannya kurus. Sebuah tas selempang kumal terpaut di dadanya, tas bermerk “BILLABOONG”. Tak lupa terselip kecrekan kayu lengkap dengan tutup botol minuman Teh Botol Sosro yang slogannya, “apapun makanannya, minumnya tetap Teh Botol Sosro”. Tapi bagi Buyung, slogan yang benar adalah.. “Apapun bisa dimakan, asal ada makanannya..”.

Buyung hanya mengenakan baju lengan buntung. Kedua lengan baju tersebut dirobeknya akibat salah satu sisinya pernah tersangkut di kawat berduri saat kepergok mencuri mangga yang ada di belakang Klenteng Tong Fang (Notes : Ini bukan klinik yah !!). Celananya adalah celana SD kumal yang warna merahnya semakin memudar menyisakan tempelan-tempelan debu dan lumpur coklat, mirip bendera merah putih yang dikibarkan di perumahan-perumahan, nampak dekil dan pudar merahnya.

Buyung asyik tertidur sambil sesekali menyeka iler di mulutnya yang menggumpal dengan tangan kirinya, lalu diayunkanlah tangannya ke arah muka Hamid (12 thn) yang tidur di sebelahnya, ‘Plok !!”. Kontan Hamid yang tidur di sebelahnya, tersentak kaget, tapi matanya tetap terpejam.

Hidung Hamid naik turun, kembang kempis, mencium aroma tangan Buyung, "Hmmm".. gumamnya. Tapi ia masih dalam posisi tertidur. Setelah mengendus beberapa kali, tiba-tiba ia tersenyum sendiri dan secara reflek, menjulurkan lidahnya lalu mulai menjilati tangan Buyung. Baginya, ia seperti sedang menikmati es krim “Walls” yang rasanya melumer, meski yang lumer itu sebenarnya iler si Buyung. (Ihh..jorok yah ceritanya !! Biarin.. kan ini cerita tentang anak jalanan, bukan anak gedongan yang kalo ngiler dikit, langsung dilap sama Mbak-nya).

Nah, siapa Hamid ? Sama seperti Buyung, yatim piatu sejak ayah dan ibunya meninggal. Ayahnya meninggal akibat TBC, ibunya meninggal gantung diri tak kuat menafkahi Hamid dan 2 adiknya yang masih kecil. Sebuah fenomena gaya “akhir hidup” yang sering kita jumpai di kalangan rakyat miskin akibat jauhnya jurang kepedulian pemerintah dengan mereka.

Kedua adik Hamid sendiri, terpisah darinya saat mereka sedang mengejar kereta untuk pulang ke kampung. Kini, hampir tiap hari, hamid selalu memimpikan bertemu adiknya. Dan mimpi besarnya adalah, bisa makan es krim lagi bersama-sama ke dua adiknya. Karena itulah saat-saat paling bahagia baginya dan adik-adiknya semasa kedua orangtuanya masih hidup.

Karena sekali-kalinya dalam seumur hidupnya yang pendek dan panjangnya tergantung belas kasih manusia di sekitarnya, ayah Hamid membelikan mereka es krim saat Hamid berulang tahun ke 5. Es krim Walls rasa coklat stroberi, rasa yang norak tapi sangat disukai Hamid. Selebihnya, sejak saat itu, Hamid hanya bisa ngemutin es batu yang dicelup sedikit gula pasir, sambil membayangkan bahwa itu adalah es krim walls kesukaannya.

Hamid cenderung agak gemuk, bukan karena ‘makmur”, tapi sedikit mengarah ke “busung lapar”. Sebenernya otak anak ini lumayan, bahkan kalo dididik dengan benar dan disekolahkan ke SD, bisa-bisa dia mampu mengalahkan anggota DPR yang cuma lulusan TK. Ini menurut salah satu Almarhum Presiden yang jengkel saat melihat perilaku anggota DPR tidak beda jauh sama anak-anak TK saat rapat kenegaraan.

Kesukaan Hamid setiap pagi sebelum berangkat “bekerja” adalah menyempatkan diri mampir ke kios Koran Mang Dirman yang berada di sebelah warung pecel Khas Surabaya, tepatnya sebelah perempatan lampu merah, gang pertama belok kiri, di sampingnya ada pos polisi yang jarang banget ada polisinya. Kalo malem, tuh pos polisi suka dibuat tempat mesum bagi pasangan muda-mudi tanggung plus rekaman video HP, yah.. disitulah Hamid bebas menyaksikan adegan semi “blue film” bersama kedua rekannya. Mereka mengintip dari balik lobang kecil yang ada di papan seng di belakang pos polisi tersebut.

Nah, kembali ke Hamid, setiap pagi, ia menyambar Koran Kompas dan mulai membacanya. Ia asyik mengikuti berbagai perkembangan berita yang ada dan menjadi peka terhadap isu-isu politik di sekitarnya. Bahkan diantara kedua rekannya, ia adalah yang paling bisa membaca. Karena itulah, dalam dunia perngamenan mereka, Hamid dipercaya sebagai pembuat lagu. Hal ini dikarenakan wawasannya yang luas sehingga mampu menciptakan syair-syair lagu yang tak kalah dari Bung Iwan Fals. Sebut saja beberapa judul lagu karyanya : Runtuhnya DPR Kami, Janji Tak Dibawa Mati, Partai Siluman, Goyang Istana Negara, Tikus jadi Raja dll. Yang terbaru adalah “Ayu Ting-Ting jadi Presiden”.

Semua lagu-lagu itu diciptakan dan diaransemen langsung oleh Hamid yang juga pandai bermain gitar tanpa dibantu oleh Addie MS Orkestra ataupun Erwin Gutawa. Gitar bekas yang “diperoleh” Hamid, berasal dari seorang Pengamen Tua.

Kenapa ada tanda kutip pada kata “diperoleh” tersebut, ini dikarenakan gitar tersebut adalah pemberian sang Pengamen Tua tersebut, sesaat sebelum beliau meninggal. Prosesi upacara pemberiannya-pun berlangsung singkat dan sangaatttt... sederhana. Tak seperti prosesi kenegaraan kita. Sang Pengamen Tua cukup duduk bersandar di salah satu tiang penyangga kolong jembatan, lalu membacakan wejangan untuk si Hamid yang disebutnya “Cucu". Setelah itu ia serahkan gitar wasiat tersebut kepadanya, katanya "Gitar ini sudah tak gendong..kemana-mana.. tak gendong kemana-mana..untuk menyuarakan kebenaran. Sekarang terimalah gitar ini cucuku..".

Hamid-pun menerima gitar tersebut dengan berurai air mata. Sebab sesaat setelah diserahkannya gitar tersebut, si pengamen tua itu “game over”, tapi game overnya sambil menjatuhkan diri ke tubuh Hamid. Hamid tak bisa bergerak, ia ketakutan melihat wajah si pengamen tua yang sudah jadi mayat. Kebetulan malam itu tidak ada siapapun di kolong jembatan itu, si pengamen tua itupun mati dalam kesepian di bawah kolong jembatan dan hiruk pikuk kendaraan di atas kolong jembatan yang asyik melaju mencari hiburan malam ke arah Gajah Mada (Kota). 

Hamid hanya bisa menangis keras karena ketakutan, sampai pagi harinya ia ditolong pemulung yang hendak buang hajat di bawah kolong jembatan tersebut, "Protttt".

Terakhir adalah “Si Bisul” (6 tahun), itu nama panggilan karena pantatnya suka bisulan. Yang satu ini juga punya hobi garuk menggaruk seperti aparat Trantib. Bedanya, setelah digaruk, timbul rasa nikmat, sedangkan yang satu tadi, setelah mulai menggaruk, timbul kerusuhan. Obyek garukannya Si Bisul juga jelas yaitu bisul-bisul di pantatnya yang sudah tak mempan lagi diperhalus meski pakai bedak bayi tercanggih sekalipun !!

Konon bisul tersebut hanya bisa disembuhkan apabila ia bisa menemukan pohon pisang yang daunnya berwarna kuning keputihan, daunnya tinggal dipetik, dicampur lombok hijau lalu dioles ke bisulnya agar menimbulkan rasa panas akibat pedasnya. Kalo kurang pedas, mungkin bisa dicampur dengan bumbu Ma’ichi level terakhir. Ia-pun percaya akan hal itu, padahal hal tersebut hanyalah akal-akal-an si Hamid dan Si Buyung yang mengerjainya.

Si bisul ini, sejak usia 2 tahun, terpisah dari kedua orang tuanya. Dia hilang di tengah keramaian pasar malam dan ditemukan oleh seorang “pencari bakat”, maksudnya orang yang suka mengambil anak kecil untuk diperdayakan kembali sebagai buruh, agen BD, pencuri, pencopet atau hal lainnya. Dan syukurnya, Si Bisul hampir selalu berhasil melalui segala jenis tugas yang diberikannya dengan mulus, alhasil ia menjadi anak emas si Pencari Bakat tersebut. 

Tapi meski begitu, Si Bisul merasa ganjil dan jijik dengan perlakuan Si Pencari Bakat. Pantatnya sering menjadi korban kepuasan si Pencari Bakat. Bahkan bukan saja dirinya, anak-anak kecil lainpun yang disekap Si Pencari Bakat, juga mengeluhkan sakit pada bagian yang sama. Rasa perih dan jijik bercampur ketakutan, membuat Si Bisul harus berjalan terseok seok menahan sakit setiap kali Si Pencari Bakat puas melakukan aksinya. Tak tahan akan kelakuan ini, akhirnya Si Bisul nekat menggigit "sosis daging" Si Pencari Bakat yang kenyalnya melebihi jajanan anak anak, sosis siap santap kesukaannya. Si Bisul dihukum !! Tidur di bekas kurungan ayam !yang kotorannya masih ada di lantainya, kering kehitaman !!

Untungnya, Si Bisul bisa kabur dari kekuasaan Si Pencari Bakat saat polisi menggerebek gudang persembunyian Si Pencari Bakat. Namun sialnya, saat sedang digerebek, polisi hanya menangkap si Pencari Bakat dan tidak menemukan si Bisul. Sial double-nya (combo hit istilahnya kalo di Game Action), rupanya Si Bisul sedang tertidur lelap di balik kurungan ayam yang ditutupi kain celemek kumal dan beberapa tumpukan kolor yang belum kering saat penggebrekan tersebut terjadi. Alhasil, polisi tidak melihat siapapun di ruangan gudang itu, mereka-pun pulang hanya membawa Si Pencari Bakat dan beberapa anak kecil lainnya. Untuk soal tidur, Si Bisul memang nomer wahid.

Dan saat Si Bisul terbangun karena lapar, ia mencari-cari keluar dari gudang. Setelah mendapati sepotong roti, ia-pun memakannya sambil berjalan tak menentu ke arah pintu depan yang terbuka. Alhasil, terjadilah adegan seorang anak berumur 2 tahun berjalan menuju pintu dimana saat itu sedang siang hari dan cahaya mentari di luar sedang terik-teriknya.

Ia pun berjalan pelan ke arah pintu yang terbuka tersebut, terobosan cahaya menyapu tubuhnya, maka bisa jadi muncul tagline “Life is an Adventure" - mirip iklan susu bayi. Sejak itulah, dimulailah petualangan Si Bisul di jalanan dalam mencari orang tuanya, hingga ia bertemu kedua sahabatnya, Buyung dan Hamid yang seolah seperti kakak baginya. Besar harapan, ia bisa bertemu kedua orangtuanya meski ia tidak tahu apakah mereka masih mencarinya.

Saat "bekerja", si Bisul biasanya bertugas sebagai pemantau, ia berlari paling cepat dan gesit diantara ke 2 rekannya. Bila polisi/satpol PP datang, ia segera memberi tahu kedua rekannya yang sedang beraksi, agar mereka bisa bersama-sama melarikan diri. Tak jarang Bisul harus beradu lari dengan petugas polisi, namun hampir di setiap “pertandingan lari” tersebut, Bisul keluar sebagai pemenang.
Ini semua berkat rahmat Tuhan Y.M.E, dibantu dengan postur tubuh para polisi yang mengejarnya. Yah, mereka nampak gemuk , subur plus buncit sehingga "lamban dalam berlari, cepat dalam menilang".

Bisul juga ahli dalam membuat peralatan serta memperbaikinya, modalnya hanyalah barang-barang rongsokan. Dalam sekejap, ia bisa menyulap menjadi alat yang handal untuk membantu aksi mereka dalam mengamen ataupun aksi-aksi mereka lainnya. Mungkin seandainya ia jadi seniman, ia bisa jadi seniman yang luar biasa.

Yah itulah cerita awal dari ke 3 bocah jalanan ini, bagaimana kisah mereka selanjutnya ? Kita akan saksikan di TKP- "Tulisan Kampungan Pendekku" berikutnya. Ini hanyalah gambaran potret buram negeri kita, ketiga anak kecil ini : Buyung, Hamid dan Bisul adalah gambaran sejauh mana tanggung jawab negara ini terhadap keberadaan warganya, khususnya para anak-anak ini.

Sementara para pejabat asyik tidur pulas di ranjangnya dengan desiran AC yang sejuk, bahkan ada yang ditambahi desiran “gairah nakal” dari kupu-kupu malam, ketiga bocah ini, asyik tertidur berserakan di depan toko obat Cina "Lo Bentang", dengan beralaskan koran dan kardus dengan desiran semilir angin malam. Bahkan si Bisul memakai alas kain poster salah satu calon Presiden, baginya calon presiden itu mirip dengan wajah ayahnya. Entah apapun itu alasnya, tidurnya tetap di bawah langit artinya di bawah kekuasaan Tuhan Y.M.E.

Di cerpen berikutnya, saya akan mengulas kisah perjalanan mereka. Senang bisa kembali menulis untuk kompasiana setelah sekian lama vakum. Semoga tulisan ini mengkoreksi kita bersama-sama sebagai warga dari sebuah negara yang “katanya”.. adalah Tanah Surga (Notes : tulisan ini BUKAN pesenan Bang Dedy Mizwar ataupun ada kaitan sama beliau).

Akhir kata, Si Bisul yang asyik tertidur, mendadak merogoh pantatnya dan asyik menggaruk-garuknya bak kucing yang sedang nikmat menggaruk punggungnya. Setelah itu, tangannya ia keluarkan dari pantatnya dan ia tempelkan ke muka Hamid, ‘Plok”. Hamid yang sedang tertidur di tengah dan masih asyik menjilati tangan Si Buyung, tersentak kaget dengan kedua matanya yang masih tertutup.

Kembali Hamid mendengus-dengus pelan mencium aroma di tangan Si Bisul, tak lama kemudian ia kembali menjulurkan lidahnya, kini ia secara bergantian menjilati tangan Si Bisul dan Buyung.."Nyamm.. Sluurrpeee". Pikirnya, “Asyikkk.. gua dapet Es krim doubleeee…” (dalam mimpinya.. mimpi di negeri kolam susu).

CERPEN KARYA : Gatot Subroto (IKJ – FILM 2006) – Mayor : Penyutradaraan, Minor : Penulisan.
Tanggal : 05-01-2013 (jauh sebelum PEMILU yang PILU).

Ikuti dan baca tulisan pendek saya lainnya.. Silahkan berkomen, beri nilai dan menikmati. Terima kasih- GBU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar