Rabu, 07 Oktober 2015

RARA & BARA : MAHLUK KECIL DARI AURORA (A story by Laura Carolina)



Sub Judul : "Sang Goriga"

Menuruni bukit di belakang sekolahnya, menjelajahi selokan, melewati jembatan berbatu di atasnya yang dibuat pada masa penjajahan Belanda, tepatnya penguasaan Gubernur Sir William, kaki Rara lincah menjelajahi rerumputan di atasnya. Tas sekolah berwarna ungu, diselempangkan di samping bahunya, sedang tangan kirinya, sibuk mencengkram sepatu kecil berwarna ungu yang dibelikan almarhum ibunya.

Mendekati sungai, ia berhenti sejenak, mengukur-ngukur jarak antar bebatuan. Bulan itu, kemarau panjang menyebabkan debit air sungai turun drastis. Bebatuan bermunculan seolah ingin menyanyikan lagu, "Musim Panas Saat Berjemur Di Sungai Takeo". Desa di mana Rara tinggal memiliki sejarah penjajahan yang cukup panjang, Jepang adalah negara terakhir yang menguasai tempat tersebut.

Namun karena keindahan alamnya, para prajurit Jepang senang menghabiskan waktu bersantai di tepian sungai itu dan memberikan nama Takeo (Arti : "Warior Hero"), mengingat masa-masa perang dunia ke 2 tersebut. Mereka menciptakan lagu tersebut untuk mengenang masa liburan di desa itu, sebelum akhirnya menyerah pada negara negara sekutu. Beberapa dari mereka, kembali berkunjung ke desa tersebut setelah masa Agresi Militer Belanda ke 2, umumnya untuk berlibur selama 1-2 minggu di desa itu.

Tangan kanan Rara terangkat ke atas, jari telunjuk dan jempolnya ia bentuk menjadi huruf C terbalik, sementara ketiga jari lainnya ia biarkan mengatup rapat. Ia mendekatkan jari-jari tersebut ke dekat mata kanannya yang bulat, sedang mata kiri ditutup rapat-rapat. Merenggang, merapat.. merenggang, merapat.. jarak antara telunjuk dan jempol itu berubah-ubah, seiring dengan jarak antara tangan kanan dengan mata kanannya, kadang mundur, kadang mendekat.

Gerak gerik rara selayaknya pengamat yang sedang meneropong dari jauh. Seiring dengan itu, poni Rara berderai-derai ditiup angin. Rupanya ia mengukur jarak antar 1 batu dengan batu lainnya lewat jempol dan telunjuknya. Melewati sungai dengan cara berpijak dari satu batu ke batu lain, nampak seperti sebuah permainan. Ada banyak cara untuk mencapai tepian sungai di seberangnya, namun ia harus memilih rangkaian bebatuan yang sesuai dengan jangkauan kakinya. Untuk gadis kecil seumuran rara, 10 tahun, tinggi Rara melebihi rata-rata gadis seusianya, 150 cm. 

Belum lagi, Rara harus memastikan apakah batu-batu itu berlumut, tajam ataupun terjal. Ia juga mencari bagian sungai mana yang nampak dangkal alih alih sebagai pijakan saat ia terpleset. Untuk urusan seperti ini, Rara sudah terbiasa. Sejak kecil, ia senang bermain di sungai tersebut bersama ayah, ibu dan kakaknya. Lidah kecilnya terjulur keluar, Rara asyik menandai batu-batu yang menjadi arah lompatannya. Telunjuknya menunjuk ke batu terakhir yang menjadi pijakan sebelum mencapai tepian sambil kemudian mengangkat jempolnya, seolah memberi tanda bahwa dia siap untuk menyeberang.

Kepalanya mendongak ke kiri, di atas gunung yang menjadi sumber mata air sungai tersebut, ia tak melihat tanda-tanda awan gelap berkerumun. Cuaca hari itu cerah, secerah wajah mungil Rara yang diterpa pantulan cahaya matahari dari sungai. Tetua desa memang sudah mengingatkan penduduk desa agar berhati-hati saat menyeberang sungai, GORIGA bisa muncul mendadak dan menyergap mereka. Rara selalu ingat kisah itu, Goriga adalah nama lain dari banjir bandang, menurut kepercayaan adat setempat, pada masa dewa-dewi, jauh sebelum manusia menghentikan kebiasaan nomadennya, ada seorang dewa yang melanggar perintah dari khayangan. Ia mencuri Api Abadi dari Gunung Pancawarna. Ini dikarenakan rupanya yang sangat buruk, sehingga ia ditolak saat hendak melamar Dewi Arumi.

Adapun keburukan mukanya berasal saat ia masih bayi, ia terkena cakaran Barakha, hewan liar pemakan bayi para dewa dewi. Terdorong sakit hatinya, dewa ini berniat menghancurkan khayangan dengan Api Abadi. Api abadi adalah adik kandung dari Api Utama, Sang Cahya alias Mentari. Siapapun yang mencuri kekuatan Api Abadi, dapat membuat dirinya kebal api bahkan membakar apapun yang ia mau. Dari sanalah ia membentuk dirinya menjadi Naga Api yang membakar khayangan dan menghanguskan bumi melalui kekeringan yang luar biasa. Khayangan gempar, panik, kacau dan ketakutan.

Jika Naga Api berhasil terbang menerkam Api Utama, dapat dipastikan kerusakan lebih besar bisa terjadi. Hingga muncullah Dewi Arumi, membujuk dewa berwujud naga tersebut dengan kecantikannya. Umpan dilepas, sang Naga Api terpikat. Ia-pun mendatangi Dewi Arumi dalam rupa dewa dan tanpa sadar, meminum air dari kolam Saptayana yang tersuguhkan saat ia datang berkunjung.

Setelah tertidur dalam buaian Dewi Arumi, para Dewa-Dewa menangkapnya. Ia tak bisa berubah menjadi Naga Api, sekuat apapun ia mencoba, air Saptayana telah mengkontaminasinya dan mencegah perubahannya untuk sementara. Segera Dewa-Dewapun membelenggu dan membawanya ke dalam kolam Saptayana. Disana, ia berubah menjadi Naga Api, namun terlambat, seluruh tubuhnya telah terserap menjadi bagian dari air di kolam Saptayana. Khawatir ia akan muncul lagi, maka Dewa-Dewa bersepakat untuk mencerai beraikan bagian tubuh dewa tersebut agar tak bersatu kembali.

Para Dewa mengambil dan membagi-bagi seluruh air dari kolam Saptayana, menyebarkannya di setiap puncak pegunungan yang ada. Setiap air yang disebarkan itulah yang kita kenal sekarang sebagai mata air. Mereka menamakan Naga Api itu sebagai Goriga, yang berarti " Kemarahan cinta seperti Api Abadi ". Kelak, Goriga tersebut akan sesekali menampakkan dirinya dalam luapan air besar untuk menghanyutkan apapun yang ada di depannya. Ini sebagai bentuk kemarahannya atas perlakuan para dewa-dewi khayangan, termasuk kepada Dewi Arumi yang ditunjuk sebagai Dewi Bumi.

Kerumunan awan hitam yang menggantung di puncak pegunungan, menjadi pertanda kesedihan mendalam sekaligus kemunculannya. Yah, begitulah kisah yang ia dengar dari para tetua desa termasuk kakeknya. Rara sedikit khawatir Goriga akan muncul siang itu, tapi melihat cuaca cerah dan tidak adanya kerumumunan awan di puncak gunung , ia kembali memandang ke tepian sungai dengan percaya diri.

Setelah 1 menit berdiri di tepian, iapun mencengkram tali tas sekolahnya bersamaan dengan sepatunya, kemudian ia mulai melompat, " Hop.. hop.. hopp.. hopp.. dst". Jembatan terdekat di desa itu berjarak cukup jauh dari sekolah Rara, ia sengaja memotong agar sampai ke tepian lebih cepat, meskipun jarang ia lakukan kalau bukan karena terpaksa. Tak boleh terlambat, pikirnya dalam hati. Hari itu ia memiliki janji penting.. sangat penting.. untuk bertemu sahabatnya dari sekolah di desa seberang, Bara.

(To be continue..)

Laura Carolina

KISAH DI BALIK PAYUNG PELANGI

Disini hanya sebuah tepian, tepian pembatas induk segala aliran. Dan disana adalah puncak, puncak segala pijakan.

Yah, itu adalah sebuah pulau.. pulau kecil, pulau tak tersentuh, tak bertuan, yang konon hancur lebur akibat muntahan amarah gunung di tengah pulau itu. Gunung yang masih menyisakan kepongahannya itu, sesekali membuang panas nafasnya seolah menantang mentari hari itu.

Dan siang di tepi pantai itu, sosok gadis berkulit lembut, duduk di patahan kayu, kayu yang bertuliskan "Kerinci 1978", jelas tercat kusam, penanda nama sebuah kapal besar. Gadis itu, wajahnya cantik, bahkan terlalu cantik. Secantik garis-garis pantai yang melingkari pulau itu, membentuk lekung oval penyambut horizon.

Namanya Kagami (cermin), namun Kei, begitu ia sebut dirinya. Kulitnya putih, halus, matanya sipit namun lekungnya terasa manis untuk disembunyikan dari cahaya matahari. Pakaiannya adalah pakaian khas negeri sakura, kimono tipe Yukata, yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis, sehingga angin pantai-pun mudah berlarian menembus sela-sela kimononya. Paras ayunya semakin terlihat indah, dengan sebuah payung berwarna pelangi yang bagian atasnya sedikit robek dan berlubang. Cahaya matahari-pun menembus celah payung itu, membuat sisi kiri wajahnya terlihat terang. Payung yang gagangnya masih terbuat dari kayu itu, nampak kusam, namun beberapa warna masih menyala diterpa cahaya.

Ia benar-benar gadis sakura yang manis, hanya saja, perutnya nampak sedikit menggelembung besar, sedang hamil 9 bulan. Ia putar pelan payung itu sambil bernyanyi pelan, "Hummmm.. hmmm.. Aku adalah sayap penantian.. takkan mungkin merekah tunggal.. huumm.. hmmm.. Disana adalah sayap kepulangan, agar tak terpisahkan lagi yang pernah terpisah dalam kisah.. hmmm.. hummm..". Desir ombak menjadi nada mayornya, mengiringi mimik wajah Kei yang jelas nampak menunggu sesuatu. Sesekali bola matanya melirik ke kanan, ke kiri, terbang menyapu lautan dari sisi kiri dan tenggelam di cakrawala barat. Tapi laut hari itu kosong, tidak ada sesuatu yang lewat, jangankan perahu besar, perahu nelayan-pun tak nampak.

"Seperti hari-hari biasanya..", desahnya pelan. Kei-pun tertunduk lesu, bisu menjadi tanda percakapan jiwanya dengan gulungan ombak yang berdebur pelan memanggilnya. Kembali ia mengusap pelan perutnya sambil memutar payungnya. Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya, jelas ia mendengar, butir-butir pasir lembut pantai itu bergemericik !! Yah !! Gemericik !! Seolah terlindas sesuatu yang berat. Kei segera menoleh, gerak putaran tangan kanannya berhenti seiring diamnya payung pelanginya. Mimik wajahnya mengharap sebuah pertemuan akan terjadi, pertemuan yang dapat membunuh waktu abadinya, "Diakah ?? Ataukah ??". Tak jauh disisinya, seorang pria muda, berpakaian jas hitam, potongan rambut gaya K-Pop, lengkap dengan warna keemasan, benar-benar mirip boyband dari negeri gingseng. Badannya tegap, lekuk dan pola jasnya nampak berbeda dari jas pada umumnya, slim fit dan borderannya berwarna perak. Celana bahannya ketat, menunjukkan sebagian lekuk lelakinya.

Namun bagian celana di paha kirinya robek dengan sebuah bekas luka sayatan yang telah mengering. Lebam dan noda darah berserak di wajah dan jasnya. Dengan bertelanjang kaki, ia pergi menghampiri Kei sambil terseok-seok, kedua pergelangan kaki dan tangannya terikat pada rantai besi yang terhubung dengan sebuah bola besi hitam berdiameter 30 cm, berat sekitar 18-20 kg. Telunjuk tangan Kei bergerak, memberi sebuah tanda tanya pada pria muda yang datang dari kejauhan itu. Mata sipitnya semakin tipis ketika ia memicing tajam. Pria itu terus menghampirinya, meski dengan susah payah menyeret bola besi itu. Akhirnya ia berada tepat di dekat Kei. Nyiur melambai, sepasang kepiting laut asyik bercengkrama meski berbeda warna, merah keputihan dan hijau kehitaman, ikan warna warni meliuk di balik gugusan terumbu karang.

Dan nampaklah kini di hadapan kita, sepasang muda-mudi, yang telah asyik berkenalan. Sekarang, mari kita dengarkan dialog antara 2 kehidupan abadi ini :   
PRIA MUDA : "Dari Jepang dan kau berdiam disini ?? Hmm.. gadis secantikmu tinggal sendiri disini ? " Kei mengangguk.  
PRIA MUDA : "Tidak takut ?", Kei menggeleng. PRIA MUDA : "Punya rokok ?". Kei menggeleng, kini dengan sebuah senyum kecil. Pria itu mengangguk juga dan duduk di sebelahnya. PRIA MUDA : "Baiklah.. aku akan memperkenalkan diriku.. Ayahku seorang yang kaya raya sekaligus penguasa. Yah, aku adalah putra seorang kepala mafia.. 3 minggu lalu, aku diculik oleh musuh-musuh ayahku. Rencana mereka adalah, meminta tebusan sebagai penggganti kekalahan mereka dalam segala kasus yang dimenangkan ayahku. Tuntutan mereka bukan saja uang, tapi seluruh anggota partai dan pemerintah yang berada di sakunya.." Kei terus mendengarkan, payungnya ia geser sedikit ke pemuda itu, kini keduanya berpayung bersama. Namun Kei tetap menjaga jarak. "Lalu ?", tanya Kei pelan. PRIA MUDA : "Entahlah.. setelah berminggu-minggu diborgol dgn rantai besi di kaki dan tanganku ini, yang aku tahu, rencana tidak berjalan mulus.. salah seorang dari mereka, datang membawa sebuah senjata.. tapi aku sendiri keburu pingsan akibat menahan lapar, dingin dan penyiksaan selama berminggu-minggu itu.. Tahu-tahu, kemarin aku terbangun di tepi pantai.. Pikirku, mereka membuangku kesini saat aku tak sadarkan diri. Dan sekarang, aku menanti.. menanti ayahku untuk menjemputku.. ia pasti menjemputku, putra satu-satunya pewaris kekuasaannya". Pandangan Pria Muda itu menegang sambil menyisiri laut, sakit akibat borgol di kaki dan tangannya serta memar-memar di tubuhnya, seolah telah hilang. Ia-pun berdiri sambil meraih seonggok batu berukuran sekepal tangan. PRIA MUDA : "Kelak aku akan membalas segala perbuatan mereka, yah.. akan kucincang mereka !! Hati dan jantung mereka untuk pesta para ikan di laut ini !! Keparat-keparat biadab itu !! Beraninya melawan kekuasaan ayahku !! Mereka lupa, aku bisa lebih kejam dari ayahku!! Ini janjiku, aku akan kembali untuk dendamku !!" Pria Muda itu melempar batu tersebut ke dalam laut, panas suhu pantai siang itu, tak dapat menyamai panas di hati pemuda itu. Tapi sunyi berdesing di jiwanya, mendadak ia sadar, diam, linglung, salah tingkah, menggaruk-garuk kepalanya, kakinya menggesek-gesek pasir pantai, menoleh, mendapati Kei memandanginya, datar tanpa emosi seperti datarnya ombak siang itu. Ia-pun duduk perlahan di sebelah Kei. PRIA MUDA : "Maafkan emosiku.. Sekarang lengkapi ceritamu.. bagaimana kau bisa sendiri disini ? Hamil pula !" Kei menatap, mengangkat kedua alisnya, Pria Muda itu mengganguk sambil menunjuk-nunjuk Kei. KEI : "Dulu disini ada sebuah kampung. Setelah Indonesia merdeka, aku dan suamiku melarikan diri kesini, kami tak bisa pulang kembali. Untungnya, penduduk disini ramah dan mau menyambut kami. Sebagai balas jasa, kami mengajari mereka bercocok tanam dan membuat peralatan pandai besi. Kami hidup bahagia selama 2 tahun.. hingga suatu waktu.." Kei berhenti sejenak, ia menoleh ke belakang, menjulang tinggi megah ditatapnya, puncak segala amarah, namun ia lebih beringas menantang. Pria Muda itu melihat gunung tersebut dan beralih lagi pada Kei. KEI : "Hari itu, dia (gunung) mendahuluiku.. Siallll !! Dia melahirkan anaknya yang sangat merah lengkap dengan gelegar tangisnya yang panas. Kamipun tak tahan mendengarnya, penduduk berlarian meninggalkan pulau ini. Sementara aku masih menunggu suamiku yang tak kunjung kembali mencari tanaman obat untuk kehamilanku di hutan yang ada di kaki gunung itu". Kei membiarkan sebutir air matanya jatuh, menggumpal di atas pasir laut, menggelinding memasuki lubang kepiting yang kosong. KEI : "Ternyata suamiku naik perahu dari sisi lain pulau ini, aliran panas telah memisah jalan antara hutan di gunung dengan kampung ini. Sementara itu, aku tertinggal sendiri di pulau ini, mengusir semua orang yang mengajakku pergi.. "Pergi !! Aku mau menunggu suamiku !!", bentakku waktu itu". Kei memutar payungnya kembali, kali ini bagian yang berlubang dan robek menembuskan cahaya ke wajah Pria Muda tersebut. KEI : "Cairan ketuban gunung itu mendidih, melahap rumah-rumah para penduduk. Sementara aku masih di antara tiang-tiang rumah, mencoba mundur sambil meneriakkan nama suamiku, "KAAGE !! KAAGEEEE !!! (bayangan) ". Penantian dan tepian menanti dibelakangku, amarah bergulung menghampiriku, aku terjebak.. ". Kei menutup separuh wajahnya dengan telapak tangan kirinya, tangan kanannya kembali memutar payung pelangi itu, kali ini lebih pelan. KEI : "Dan sayup terdengar dari jauh, suara suamiku memanggil dari perahunya, tapi.. semua terlambat.. kemarahan telah menelanku..". PRIA MUDA : "Menelanmu ?? Maksudmu.. kau ini.. ??" Kei hanya diam saja, Pria Muda itu tercekat, menjauh, wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Ia terseok-seok mundur, menjauhi Kei sambil menyeret bola besi yang menahannya. PRIA MUDA : "Tidak !! Tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini !!" KEI : "Hantu ?? Apa itu Hantu ?? Mahluk bermuka buruk ?? Ataukah jiwa yang terjebak dalam emosi kuat bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak terselesaikan selama hidupnya ??" PRIA MUDA :"Ahhh !! Persetan !! Pergi kau !! Pergi !!" Sontak Kei bangkit berdiri & berteriak keras. KEI : "Kenapa harus aku yang pergi ?? Ini pulauku !! Tepianku !! Batasku !! Penantianku !!" Pria Muda itu jatuh terjerambab, kaget mendengar teriakan Kei, kedua kakinya lemas gemetar. KEI berjalan pelan mendekati Pria Muda itu : "Amarahmu itu persis gunung di belakangku !! Arogan !! Membabi buta !! Merusak !!". Payung pelanginya terus diputarnya, Pria Muda itu hanya bisa melihat ke atas. Nampak gelap-terang cahaya yang silih berganti menyambangi wajah Kei, wajah Kei-pun berubah-ubah sesuai cahaya itu. Pemuda itu menutupi wajahnya ketakutan. KEI : "Lagipula disini kau cuma sendiri ! Dengar !! Bukan badai, kelaparan, hewan liar atau aku yang seharusnya kau takuti.. tapi justru rasa kesepian.. kesepian yang panjang untuk kita lalui dan taklukkan.. ". Kei menahan nafasnya, meredupkan pijar emosi di matanya. Pijaran yang berkilat laksana lidah-lidah api matahari itu, mendadak teduh, seperti permukaan bulan di kala purnama, beku.. sunyi.. hampa.. . Kei memegangi perutnya, tubuhnya perlahan mundur dan duduk kembali. ------------------------------------------------------------------------- KEI : "Sudahlah.. aku hanya ingin kita saling berbagi, agar sepi tak lagi menaruh tahta di meja perjamuan yang ber-menu penantian. Aku sepi, menanti dia.. dan ini (memandang perutnya), sebab dari antara mereka, tak ada yang kembali atau hadir..". Pria muda itu mengatup bibir, sunyi menggelindingi gendang telinganya, kata-kata Kei menghempas dia seperti kapal yang karam tertabrak karang. Pria Muda itu menunduk, raut wajahnya merangkai cerah-cerah hikmat dari setiap perkataan Kei. Ia-pun berdiri dan menulis kata " MAAF " di atas pasir. Kei melirik sejenak, tersenyum kecil dan kembali melihat pada lautan di depannya. Pria Muda itu duduk kembali di sebelah Kei, ia tak berani menatap Kei. KEI : "Sudahlah.. pada akhirnya kita sama, kita semua akan kembali pada induk segala aliran. Karna aku adalah tepian pembatas pertemuan pulau ini dengan induk segala aliran, sedangkan kau adalah puncak segala pijakan yang dipenuhi amarah. Aku merendah menanti pertemuan, kau menjulang menanti pertemuan juga. Takdir kita bertemu disini, menunggu disini, kembali disini.. induk segala aliran.. mari menanti..". Dan sejenak kita tinggalkan mereka, karena inilah dialog terakhir di antara mereka siang itu, selebihnya mereka berdua hanya duduk terdiam di atas patahan kayu itu. Mengamati lautan hingga matahari mulai menutup kedua matanya di ujung cakrawala, tentunya sambil memberi salam kepada segala penghuni kehidupan darat serta laut. ------------------------------------------------------------------------ ------------------------------------------------------------------------ Di sunyinya sore itulah, Pria Muda itu mendongakkan wajahnya ke atas dan menoleh kepada Kei. PRIA MUDA : "Lantas.. bagaimana aku bisa melihatmu sejelas ini ?? Kau yang sengaja mewujudkan diri kepadaku atau.. ??" Kei menoleh, selirik kilas, ia menaikkan kedua bola matanya ke arah sisi kiri dahi pemuda itu yang agak tertutup rambut. Nampak sebuah lubang dengan darah yang telah mengering, cukup dalam dan menganga dahaga. Sinar mentari sore, sedikit mengkilatkan ujung peluru yang bersarang di dalam lubang itu. Kei melihat lagi pada mata pemuda itu, tersenyum dan menatap kembali ke arah laut. KEI : "Karena kita sama.." "Sama ??", potong si PRIA MUDA itu," Maksudmu sama bagaimana ? Sama-sama menanti ??" Kei terdiam. PRIA MUDA : "Baiklah.. tidak usah kau jawab, aku akan menemanimu. Tapi.. sampai kapan kita akan menanti ?" KEI : "Entahlah.. entahlah.. mungkin sampai Sang Waktu mati.. karena ia-lah Bapa segala penantian..". Dan malampun tiba di tepi pantai itu, kini bulan yang akan mendongeng kisah mereka. Aku telah menghilang untuk esok kembali (Salam dari Mentari, Pencitra Segala Warna-Warni.. Pelukis Yang Agung..). --------------------------------------------------------------------------------- Get's  : 8 Juli 2012.. Tetap Menanti..

MUSAFIR TANPA NAMA

JIWA SANG MUSAFIR

Syahdan.. seorang Sultan yang bergelimang harta bukan saja emas dan permata, tetapi juga intan milik Raja Sulaiman, nilam dari Meteorit jaman Paleotikum, pualam yang konon dari bekas taman gantung Babilonia dan berbagai bagai harta unik lainnya, seolah hanya dia dan Tuhan saja yang memilikinya. Begitu limpah dan nikmat hidup dunianya, hingga siang dan malam ia sangat menggemari tinggal dan berjalan-jalan di istananya.

Pun tak dilihatnya kemurungan, karena hari-harinya diisi dengan hati yang selalu berpesta dan berpesta. Para penari perut yang bohai nerkom, anggur dan daging bakar berlimpah, musik bernada mistis nan menghipnotis serta berbagai acara bombastis lainnya. All night long.. Yeahhh... *Dan selalu ditutup dengan... pesta kembang api.

Hingga hari itupun tiba.. Penjaga pintu gerbang berlari tergopoh-gopoh, crossbow di pinggangnya terjatuh. Keringat sebesar butiran jagung bermunculan di dahi dan jidatnya, persis seperti seorang yang habis melihat hantu dari Hutan Gibraltar, tempat bagi jiwa-jiwa yang terbunuh semasa Perang Lebur Bumi, perang besar disaat kesultanan masih dipimpin kakek buyut Sang Sultan. Kembali ke penjaga itu, wajahnya biru pucat, mulutnya kelu, kedua tangan gemetar seirama deretan giginya yang bergemeretak, kecuali bagian kiri atas giginya yang ompong setengah.

Selebihnya, kita dapat melihat betapa ketakutannya dia, berlutut menyembah di depan sultan "Se.. Se.. Sega.. Segala.. Pu..Pu.. Pu.. Puji ! Hor.. Hor .. Hormat.. Yah... Tu..Tu.. Tuanku Sul.." "Ssshhtt.. ", Sultan mengangkat telunjuk tangannya, si penjaga paham "kode sandi" itu. Segera ia merunduk membenamkan kepalanya di antara kedua lengan perkasanya. Kemudian Sultan membalik telapan tangannya, mempersilahkan sang panjaga berbicara.

"Tuan, di depan gerbang, ada seorang pria asing mendekat.. ia telah kami larang mendekati gerbang, tapi ia malah terus berlari. Begitu cekatan larinya sampai-sampai puluhan panah kami berhasil dilewatinya sambil meliuk-liuk kesana kemari. Lebih anehnya lagi, pria asing itu tiba-tiba bisa masuk menembus pintu gerbang dengan tubuh jasmaninya.. adikodrati ! ".

Mata Sultan terbuka.. ia mengangkat bahunya, ada yang memikat pikirannya kala itu. "Pasukan berpedang dan para pemanah langsung mencegatnya. Hambapun segera bertanya siapa namanya. Ia tak menjawab, hanya mengeluarkan pisau kecilnya lalu menggoreskan sebuah kata di pintu gerbang, yaitu.. " Mata Sultan kian menajam, persis tatapan patung Elang Jambul Merah (falco rusticolus) di samping kursi tahtanya. Ekspresinya seolah bertanya, "Apa yang ia tuliskan ?"

"MUSAFIR".. TO BE CONTINUE..

I AM NOT LIKE THAT - August 2015

Seberapa "harga" kita di mata Tuhan..

Setiap kali kita memandang kegagalan, kita acapkali menilai "harga" kita seharga kegagalan itu bahkan lebih rendah. Terlebih parah, kita membiarkan orang lain membuat "nilai" terhadap kegagalan kita, kita meng"amini" nilai-nilai tersebut.

Dalam keadaan demikian, kita cenderung destruktif, berusaha lari dr kenyataan (denial), bahkan tertekan berlebihan. Bila hidup masih ditentukan oleh keadaaan sekitar kita, pandangan manusia di sekitar kita bahkan kekecewaan terhadap orang yang kita kasihi, maka kita akan mengurung diri dan bernyaman ria dalam zona keterpurukan. Kita telah menjadi pasukan tanpa baju zirah, membiarkan pedang musuh yaitu "kalimat-kalimat buruk", merusak kita. Dan kita terus menerima dan menerima bahkan melahapnya tanpa perlawanan. Seolah segala yang dihidangkan oleh kegagalan adalah santapan lezat bagi jiwa kita.

Pada akhirnya, kita menyalahkan Dia sebagai pencipta kita..

Hingga kita masuk dalam masa perhentian, kita tak dapat lagi melakukan apapun.. kita hanya bisa berdiam meski beribu pertanyaan berseliweran. Bersimpuh dan berlutut. Air mata mengering, kita seperti hewan dungu, diam tak memahami, tapi tetap berusaha mendekat padaNya.

Dalam masa-masa doa yang "jujur" itulah, kita mendapati jawabanNya, lembut dan tenang, tidak meledak-ledak, tidak berupa mujizat luar biasa yang langsung menjawab semua masalah kita, tidak berupa materi berlimpah.. tapi seringkali, ia hanya menaruh kesadaran lembut di hati kita, bahwa..

"Aku tidak begitu..".

3 kata ini, terus berseru menghapus semua pernyataan buruk dalam hidup kita. Dan saat kita memandang hidup kita tak berarti, tidak ada yang mengasihi, bahkan orang yg kita cintai menolak kita.. Ia tetap berkata,

"Aku tidak begitu..".

Perlahan, sebulir air mata mulai menetes.. hati yang keras dan hitam, perlahan mulai memerah hangat kembali.. Ada pelukan hangat dari Sepasang Tangan IlahiNya. Akhirnya kita menjadi lupa terhadap segala pertanyaan-pertanyaan kita sebelumnya, kasihNya menjadi jawaban nyata saat ia melanjutkan kalimatNya..

"Aku tidak begitu.. Aku tetap mencintaiMu.."

PELANGI KECIL DI PAGI HARI

"PELANGI KECIL"
  "Apa yg kau gambar Pikipoo ?", lirik ayah sambik membawa tumpukan berkas, pensil coklat terselip di telinga kanannya. Pikipoo adalah pangillan sayang ayah untuk Lantika. "Warna warni.. !" Di atas kertas gambar seukuran A4 itu, terdeskripsi jelas 5 jari anak kecil dengan warna - warna menyolok, bagian telapaknya berwarna putih. "Kok tengahnya putih ?", ayah membungkukkan badan sejenak, menunjuk gambar telapak tangan.

"Itu warna Tuhan Pah, putih.. ntar dari situ memancar warna warna lain, mirip pelangi. Kan papa yg ajarin Pikii.. masak lupa? Beneran deh, papa kayaknya mesti minum susu yg Piki minum.. kata mama bikin Piki pinter.." Ayah tertawa sambil duduk bersila menemani putrinya. Ia menarik seberkas kertas, disitu terdapat gambar gambar garis orbital antar planet berbentuk elips.

Coretan rumus dan persamaan matematika utk menghitung kecepatan cahaya serta jarak tempuh antar planet, berderet deret memenuhi sisi kirinya."Piki.. putih yg kau maksud adalah cahaya.. papa ngitung kecepatan dan jumlah tahunnya supaya tau jaraknya dengan.." Lantika yg jarinya asyik menelusuri putaran garis orbital, tiba tiba tersenyum lebar, mata bulatnya berbinar binar.

"Pah.. Pah.. mungkin bila papa ketemu jaraknya, kita bisa bertemu Tuhan.. kita bisa main ke rumah-Nya.. Piki bawain barbie ama kotak rias Piki, nanti Piki ajak Tuhan main boneka dan rias muka, seru kali ya Pah ?" Ayah hanya tersenyum, ia usap rambut Lantika pelan, mengamati gadis kecilnya yg tiba tiba terdiam melihat ke langit-langit rumah."Hayoo.. mikir apa ??"

"Hmm, Piki lagi bayangin gimana wajah Tuhan kalo Piki pakein lipstik maenan Piki. Ohya, papah uda tau jarak ke rumahNya?" Tawa ayah terdengar keras sambil menggeleng kepalanya. Lantika kecil ikutan tertawa, pikirnya pasti lucu bila wajah Tuhan dirias, dikasi lipstik dan rambutnya diikat seperti rambut ekor kuda seperti dirinya.

Ayahnya masih tertawa, air mata terburai. "Hmm, kalo belum.. ya udah Pah, papa dulu deh yg Piki pakein lipstik ". Ayah terdiam, lipstik sudah berada di tangan kiri Lantika.

Laura Carolina - writer & reader

MAHLUK MAHLUK PENJAGA PELANGI - Imagination Is Real

Pecahan short story dari on progress novel :

Mahluk Mahluk Penjaga Pelangi, berkisah tentang masa kecil Lantika dan ayahnya, peneliti yang terobsesi dengan dunia di balik pelangi.

PELANGI DI ANGKASA

" Di angkasa ada pelangi Pah ? ", tanya Lantika sambil memandangi sketsa pesawat ruang angkasa milik ayahnya. Sesekali ia menyibak poninya yang terus turun menutupi matanya. Foto foto bintang, galaksi dan pelangi milik ayahnya yang menempel di papan kayu, menarik minatnya.

Ayahnya berhenti menggambar, menoleh ke arah putri kecilnya yang belakangan ini mulai jadi "miss serba ingin tahu". Ia pencet hidung putrinya, Lantika cemberut dan ngomel dengan suara bindeng, "Hiihh Fafaa. Lantifakan fuma fahnya afa.. (Iihh Papa, Lantikakan cuma nanya aja)".

Gelak tawa Ayah terdengar keras di ruang kerjanya, apalagi Lantika segera pasang muka cemberut dan bersidekap. "Papa ketawanya mirip monster Gomi bermulut besar dari Planet Starovski!". "Monster mulut besar ?", ayah balik bertanya. "Iya, itu tuh, monster furball berwarna hijau dengan mulut besar, perut buncit cit dan bibir dower wer.. bibirnya merah marun run, mirip warna lipstik mama, kalo ketawa gini nih.. Huak Huak Huak Huak Huak..", Lantika memeragakan tawa monster itu, kedua tangannya memegangi pinggangnya yang ia condongkan ke depan mirip perut buncit bapak bapak.

Tawa ayah semakin keras sampai-sampai keluar butiran air mata, putri sulungnya ini memang ekspresif kalo boleh dibilang setingkat lebih halus dari hiperaktif. "Sini.. sini Pikipoo.. ", naluri kebapakan Ayah mendorongnya untuk meletakkan segala pekerjaannya, obsesi ayah untuk mengejar dunia di balik pelangi adalah impiannya sejak kecil.

Lantika tau itu, tapi ayahnya tak pernah menjelaskan padanya secara mendetail, kini ayahnya tampak tertarik untuk bercerita. "Hop", satu lompatan kecil dan Lantikapun telah duduk di pangkuan ayahnya. "Kamu uda makin berat sayang..", kata ayahnya sambil mengelus dan mengendus rambut Lantika. Pikipoo adalah panggilan sayang ayah pada Lantika sedangkan mengendus bau rambut Lantika atau Pikipoo merupakan kebiasaan yang disukai ayah.

Ayah tau Lantika belum mandi pagi itu, tapi menurut ayah bau alami rambut pikipoo adalah menyenangkan, mengingatkan ayah pada bau rambut ibunya alias nenek dari Lantika. "Tadi Piki nanyain soal pelangi di angkasa ? Maksud Piki pelangi di langit yah ?", tanya ayah. Piki mengangguk.

"Sebelum papa lanjutin, papa mau bilang kalo pelangi itu bukan hanya ada di angkasa ataupun langit, tapi juga ada disini..", telunjuk ayah menunjuk tepat ke arah bola mata Lantika, Lantika bingung. "Nanti pas Piki lagi sedih banget atau abis nangis terus terusan biasanya muncul pelangi.. Ga percaya ? Kalo Piki uda gede, Piki bakalan ngerti sendiri yang papa bilang ini. Nah, sekarang papa mau jelasin yah soal pelangi di langit, bentuknya semacam cincin Saturnus, posisinya menyeberangi galaksi dan.."

Sekarang, mari kita tingalkan kedua Ayah-Anak itu yang asyik bercerita di ruang kerja sang ayah, membiarkan malam itu berlalu dalam kedekatan hati mereka. Itulah salah satu kenangan Lantika tentang ayahnya, kenangan yang membentuknya menjadi seorang "Pengejar Pelangi". Sebuah kisah baru saja dimulai, kisah yang menjelajahi dunia impian sang ayah dalam bingkai mata Lantika.. dan anda baru saja memulai bab pengantarnya.

Laura Carolina