Rabu, 07 Oktober 2015

KISAH DI BALIK PAYUNG PELANGI

Disini hanya sebuah tepian, tepian pembatas induk segala aliran. Dan disana adalah puncak, puncak segala pijakan.

Yah, itu adalah sebuah pulau.. pulau kecil, pulau tak tersentuh, tak bertuan, yang konon hancur lebur akibat muntahan amarah gunung di tengah pulau itu. Gunung yang masih menyisakan kepongahannya itu, sesekali membuang panas nafasnya seolah menantang mentari hari itu.

Dan siang di tepi pantai itu, sosok gadis berkulit lembut, duduk di patahan kayu, kayu yang bertuliskan "Kerinci 1978", jelas tercat kusam, penanda nama sebuah kapal besar. Gadis itu, wajahnya cantik, bahkan terlalu cantik. Secantik garis-garis pantai yang melingkari pulau itu, membentuk lekung oval penyambut horizon.

Namanya Kagami (cermin), namun Kei, begitu ia sebut dirinya. Kulitnya putih, halus, matanya sipit namun lekungnya terasa manis untuk disembunyikan dari cahaya matahari. Pakaiannya adalah pakaian khas negeri sakura, kimono tipe Yukata, yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis, sehingga angin pantai-pun mudah berlarian menembus sela-sela kimononya. Paras ayunya semakin terlihat indah, dengan sebuah payung berwarna pelangi yang bagian atasnya sedikit robek dan berlubang. Cahaya matahari-pun menembus celah payung itu, membuat sisi kiri wajahnya terlihat terang. Payung yang gagangnya masih terbuat dari kayu itu, nampak kusam, namun beberapa warna masih menyala diterpa cahaya.

Ia benar-benar gadis sakura yang manis, hanya saja, perutnya nampak sedikit menggelembung besar, sedang hamil 9 bulan. Ia putar pelan payung itu sambil bernyanyi pelan, "Hummmm.. hmmm.. Aku adalah sayap penantian.. takkan mungkin merekah tunggal.. huumm.. hmmm.. Disana adalah sayap kepulangan, agar tak terpisahkan lagi yang pernah terpisah dalam kisah.. hmmm.. hummm..". Desir ombak menjadi nada mayornya, mengiringi mimik wajah Kei yang jelas nampak menunggu sesuatu. Sesekali bola matanya melirik ke kanan, ke kiri, terbang menyapu lautan dari sisi kiri dan tenggelam di cakrawala barat. Tapi laut hari itu kosong, tidak ada sesuatu yang lewat, jangankan perahu besar, perahu nelayan-pun tak nampak.

"Seperti hari-hari biasanya..", desahnya pelan. Kei-pun tertunduk lesu, bisu menjadi tanda percakapan jiwanya dengan gulungan ombak yang berdebur pelan memanggilnya. Kembali ia mengusap pelan perutnya sambil memutar payungnya. Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya, jelas ia mendengar, butir-butir pasir lembut pantai itu bergemericik !! Yah !! Gemericik !! Seolah terlindas sesuatu yang berat. Kei segera menoleh, gerak putaran tangan kanannya berhenti seiring diamnya payung pelanginya. Mimik wajahnya mengharap sebuah pertemuan akan terjadi, pertemuan yang dapat membunuh waktu abadinya, "Diakah ?? Ataukah ??". Tak jauh disisinya, seorang pria muda, berpakaian jas hitam, potongan rambut gaya K-Pop, lengkap dengan warna keemasan, benar-benar mirip boyband dari negeri gingseng. Badannya tegap, lekuk dan pola jasnya nampak berbeda dari jas pada umumnya, slim fit dan borderannya berwarna perak. Celana bahannya ketat, menunjukkan sebagian lekuk lelakinya.

Namun bagian celana di paha kirinya robek dengan sebuah bekas luka sayatan yang telah mengering. Lebam dan noda darah berserak di wajah dan jasnya. Dengan bertelanjang kaki, ia pergi menghampiri Kei sambil terseok-seok, kedua pergelangan kaki dan tangannya terikat pada rantai besi yang terhubung dengan sebuah bola besi hitam berdiameter 30 cm, berat sekitar 18-20 kg. Telunjuk tangan Kei bergerak, memberi sebuah tanda tanya pada pria muda yang datang dari kejauhan itu. Mata sipitnya semakin tipis ketika ia memicing tajam. Pria itu terus menghampirinya, meski dengan susah payah menyeret bola besi itu. Akhirnya ia berada tepat di dekat Kei. Nyiur melambai, sepasang kepiting laut asyik bercengkrama meski berbeda warna, merah keputihan dan hijau kehitaman, ikan warna warni meliuk di balik gugusan terumbu karang.

Dan nampaklah kini di hadapan kita, sepasang muda-mudi, yang telah asyik berkenalan. Sekarang, mari kita dengarkan dialog antara 2 kehidupan abadi ini :   
PRIA MUDA : "Dari Jepang dan kau berdiam disini ?? Hmm.. gadis secantikmu tinggal sendiri disini ? " Kei mengangguk.  
PRIA MUDA : "Tidak takut ?", Kei menggeleng. PRIA MUDA : "Punya rokok ?". Kei menggeleng, kini dengan sebuah senyum kecil. Pria itu mengangguk juga dan duduk di sebelahnya. PRIA MUDA : "Baiklah.. aku akan memperkenalkan diriku.. Ayahku seorang yang kaya raya sekaligus penguasa. Yah, aku adalah putra seorang kepala mafia.. 3 minggu lalu, aku diculik oleh musuh-musuh ayahku. Rencana mereka adalah, meminta tebusan sebagai penggganti kekalahan mereka dalam segala kasus yang dimenangkan ayahku. Tuntutan mereka bukan saja uang, tapi seluruh anggota partai dan pemerintah yang berada di sakunya.." Kei terus mendengarkan, payungnya ia geser sedikit ke pemuda itu, kini keduanya berpayung bersama. Namun Kei tetap menjaga jarak. "Lalu ?", tanya Kei pelan. PRIA MUDA : "Entahlah.. setelah berminggu-minggu diborgol dgn rantai besi di kaki dan tanganku ini, yang aku tahu, rencana tidak berjalan mulus.. salah seorang dari mereka, datang membawa sebuah senjata.. tapi aku sendiri keburu pingsan akibat menahan lapar, dingin dan penyiksaan selama berminggu-minggu itu.. Tahu-tahu, kemarin aku terbangun di tepi pantai.. Pikirku, mereka membuangku kesini saat aku tak sadarkan diri. Dan sekarang, aku menanti.. menanti ayahku untuk menjemputku.. ia pasti menjemputku, putra satu-satunya pewaris kekuasaannya". Pandangan Pria Muda itu menegang sambil menyisiri laut, sakit akibat borgol di kaki dan tangannya serta memar-memar di tubuhnya, seolah telah hilang. Ia-pun berdiri sambil meraih seonggok batu berukuran sekepal tangan. PRIA MUDA : "Kelak aku akan membalas segala perbuatan mereka, yah.. akan kucincang mereka !! Hati dan jantung mereka untuk pesta para ikan di laut ini !! Keparat-keparat biadab itu !! Beraninya melawan kekuasaan ayahku !! Mereka lupa, aku bisa lebih kejam dari ayahku!! Ini janjiku, aku akan kembali untuk dendamku !!" Pria Muda itu melempar batu tersebut ke dalam laut, panas suhu pantai siang itu, tak dapat menyamai panas di hati pemuda itu. Tapi sunyi berdesing di jiwanya, mendadak ia sadar, diam, linglung, salah tingkah, menggaruk-garuk kepalanya, kakinya menggesek-gesek pasir pantai, menoleh, mendapati Kei memandanginya, datar tanpa emosi seperti datarnya ombak siang itu. Ia-pun duduk perlahan di sebelah Kei. PRIA MUDA : "Maafkan emosiku.. Sekarang lengkapi ceritamu.. bagaimana kau bisa sendiri disini ? Hamil pula !" Kei menatap, mengangkat kedua alisnya, Pria Muda itu mengganguk sambil menunjuk-nunjuk Kei. KEI : "Dulu disini ada sebuah kampung. Setelah Indonesia merdeka, aku dan suamiku melarikan diri kesini, kami tak bisa pulang kembali. Untungnya, penduduk disini ramah dan mau menyambut kami. Sebagai balas jasa, kami mengajari mereka bercocok tanam dan membuat peralatan pandai besi. Kami hidup bahagia selama 2 tahun.. hingga suatu waktu.." Kei berhenti sejenak, ia menoleh ke belakang, menjulang tinggi megah ditatapnya, puncak segala amarah, namun ia lebih beringas menantang. Pria Muda itu melihat gunung tersebut dan beralih lagi pada Kei. KEI : "Hari itu, dia (gunung) mendahuluiku.. Siallll !! Dia melahirkan anaknya yang sangat merah lengkap dengan gelegar tangisnya yang panas. Kamipun tak tahan mendengarnya, penduduk berlarian meninggalkan pulau ini. Sementara aku masih menunggu suamiku yang tak kunjung kembali mencari tanaman obat untuk kehamilanku di hutan yang ada di kaki gunung itu". Kei membiarkan sebutir air matanya jatuh, menggumpal di atas pasir laut, menggelinding memasuki lubang kepiting yang kosong. KEI : "Ternyata suamiku naik perahu dari sisi lain pulau ini, aliran panas telah memisah jalan antara hutan di gunung dengan kampung ini. Sementara itu, aku tertinggal sendiri di pulau ini, mengusir semua orang yang mengajakku pergi.. "Pergi !! Aku mau menunggu suamiku !!", bentakku waktu itu". Kei memutar payungnya kembali, kali ini bagian yang berlubang dan robek menembuskan cahaya ke wajah Pria Muda tersebut. KEI : "Cairan ketuban gunung itu mendidih, melahap rumah-rumah para penduduk. Sementara aku masih di antara tiang-tiang rumah, mencoba mundur sambil meneriakkan nama suamiku, "KAAGE !! KAAGEEEE !!! (bayangan) ". Penantian dan tepian menanti dibelakangku, amarah bergulung menghampiriku, aku terjebak.. ". Kei menutup separuh wajahnya dengan telapak tangan kirinya, tangan kanannya kembali memutar payung pelangi itu, kali ini lebih pelan. KEI : "Dan sayup terdengar dari jauh, suara suamiku memanggil dari perahunya, tapi.. semua terlambat.. kemarahan telah menelanku..". PRIA MUDA : "Menelanmu ?? Maksudmu.. kau ini.. ??" Kei hanya diam saja, Pria Muda itu tercekat, menjauh, wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Ia terseok-seok mundur, menjauhi Kei sambil menyeret bola besi yang menahannya. PRIA MUDA : "Tidak !! Tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini !!" KEI : "Hantu ?? Apa itu Hantu ?? Mahluk bermuka buruk ?? Ataukah jiwa yang terjebak dalam emosi kuat bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak terselesaikan selama hidupnya ??" PRIA MUDA :"Ahhh !! Persetan !! Pergi kau !! Pergi !!" Sontak Kei bangkit berdiri & berteriak keras. KEI : "Kenapa harus aku yang pergi ?? Ini pulauku !! Tepianku !! Batasku !! Penantianku !!" Pria Muda itu jatuh terjerambab, kaget mendengar teriakan Kei, kedua kakinya lemas gemetar. KEI berjalan pelan mendekati Pria Muda itu : "Amarahmu itu persis gunung di belakangku !! Arogan !! Membabi buta !! Merusak !!". Payung pelanginya terus diputarnya, Pria Muda itu hanya bisa melihat ke atas. Nampak gelap-terang cahaya yang silih berganti menyambangi wajah Kei, wajah Kei-pun berubah-ubah sesuai cahaya itu. Pemuda itu menutupi wajahnya ketakutan. KEI : "Lagipula disini kau cuma sendiri ! Dengar !! Bukan badai, kelaparan, hewan liar atau aku yang seharusnya kau takuti.. tapi justru rasa kesepian.. kesepian yang panjang untuk kita lalui dan taklukkan.. ". Kei menahan nafasnya, meredupkan pijar emosi di matanya. Pijaran yang berkilat laksana lidah-lidah api matahari itu, mendadak teduh, seperti permukaan bulan di kala purnama, beku.. sunyi.. hampa.. . Kei memegangi perutnya, tubuhnya perlahan mundur dan duduk kembali. ------------------------------------------------------------------------- KEI : "Sudahlah.. aku hanya ingin kita saling berbagi, agar sepi tak lagi menaruh tahta di meja perjamuan yang ber-menu penantian. Aku sepi, menanti dia.. dan ini (memandang perutnya), sebab dari antara mereka, tak ada yang kembali atau hadir..". Pria muda itu mengatup bibir, sunyi menggelindingi gendang telinganya, kata-kata Kei menghempas dia seperti kapal yang karam tertabrak karang. Pria Muda itu menunduk, raut wajahnya merangkai cerah-cerah hikmat dari setiap perkataan Kei. Ia-pun berdiri dan menulis kata " MAAF " di atas pasir. Kei melirik sejenak, tersenyum kecil dan kembali melihat pada lautan di depannya. Pria Muda itu duduk kembali di sebelah Kei, ia tak berani menatap Kei. KEI : "Sudahlah.. pada akhirnya kita sama, kita semua akan kembali pada induk segala aliran. Karna aku adalah tepian pembatas pertemuan pulau ini dengan induk segala aliran, sedangkan kau adalah puncak segala pijakan yang dipenuhi amarah. Aku merendah menanti pertemuan, kau menjulang menanti pertemuan juga. Takdir kita bertemu disini, menunggu disini, kembali disini.. induk segala aliran.. mari menanti..". Dan sejenak kita tinggalkan mereka, karena inilah dialog terakhir di antara mereka siang itu, selebihnya mereka berdua hanya duduk terdiam di atas patahan kayu itu. Mengamati lautan hingga matahari mulai menutup kedua matanya di ujung cakrawala, tentunya sambil memberi salam kepada segala penghuni kehidupan darat serta laut. ------------------------------------------------------------------------ ------------------------------------------------------------------------ Di sunyinya sore itulah, Pria Muda itu mendongakkan wajahnya ke atas dan menoleh kepada Kei. PRIA MUDA : "Lantas.. bagaimana aku bisa melihatmu sejelas ini ?? Kau yang sengaja mewujudkan diri kepadaku atau.. ??" Kei menoleh, selirik kilas, ia menaikkan kedua bola matanya ke arah sisi kiri dahi pemuda itu yang agak tertutup rambut. Nampak sebuah lubang dengan darah yang telah mengering, cukup dalam dan menganga dahaga. Sinar mentari sore, sedikit mengkilatkan ujung peluru yang bersarang di dalam lubang itu. Kei melihat lagi pada mata pemuda itu, tersenyum dan menatap kembali ke arah laut. KEI : "Karena kita sama.." "Sama ??", potong si PRIA MUDA itu," Maksudmu sama bagaimana ? Sama-sama menanti ??" Kei terdiam. PRIA MUDA : "Baiklah.. tidak usah kau jawab, aku akan menemanimu. Tapi.. sampai kapan kita akan menanti ?" KEI : "Entahlah.. entahlah.. mungkin sampai Sang Waktu mati.. karena ia-lah Bapa segala penantian..". Dan malampun tiba di tepi pantai itu, kini bulan yang akan mendongeng kisah mereka. Aku telah menghilang untuk esok kembali (Salam dari Mentari, Pencitra Segala Warna-Warni.. Pelukis Yang Agung..). --------------------------------------------------------------------------------- Get's  : 8 Juli 2012.. Tetap Menanti..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar